TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud Md, mengatakan pemerintah kaget dengan agenda revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, rencana itu tidak ada dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Dewan Perwakilan rakyat (DPR). Namun, Mahfud mengira usulan ini terjadi karena ada kebutuhan.
“Kami juga kaget karena itu tidak ada di Prolegnas, tapi setelah kami konsultasikan mungkin ada kebutuhan, tetapi dengan prinsip tidak boleh merugikan atau dugaan tentang terjadinya hal-hal yang ditanyakan itu (pengondisian MK dan kaitannya dengan sengketa Pemilu 2024),” kata Mahfud dalam keterangan pers, Senin, 4 Desember 2023.
Ketika ditanya apakah revisi UU MK ini menyasar hakim tertentu karena berkaitan dengan sengketa Pemilu 2024 dan upaya pengondisian MK, Mahfud mengaku tidak bisa menjawab. Menurut Mahfud, revisi ini merupakan hal wajar dan dianggap biasa, kecuali Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
“Ini tidak ada, tetapi ini diusulkan oleh DPR, jadi tidak bisa ditanyakan kepada pemerintah,” kata Mahfud.
Mahfud mengatakan revisi UU MK bisa merugikan Hakim Konstitusi yang aktif sekarang. Menurut dia, dalam aturan peralihan itu kalau diberlakukan terhadap jabatan harus yang menguntung atau sekurang-kurangnya tidak merugikan subjek yang bersangkutan.
“Kalau kami ikut yang diusulkan DPR, itu berarti itu akan merugikan subjek yang sekarang jadi hakim, sehingga kami waktu itu kami tidak menyetujui,” kata Mahfud.
Dilansir dari Koran Tempo edisi 28 November 2023, rencana revisi UU MK diusulkan DPR sejak September 2022. DPR kemudian membentuk Panja RUU MK pada Februari 2023. Kala itu rencana revisi direncanakan menyasar empat poin, yaitu batas usia minimal hakim konstitusi, evaluasi hakim konstitusi, unsur keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, dan penghapusan ketentuan peralihan mengenai masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK.
Pilihan Editor: Jokowi Pertanyakan Kepentingan Agus Rahardjo Singgung soal Intervensi KPK