TEMPO.CO, Jakarta - Tepat hari ini 10 November 1945 menjadi peringatan Hari Pahlawan di tahun 2023. Presiden Joko Widodo memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada beberapa tokoh seperti Ida Dewa Agung Jambe dari Bali, Bataha Santiago dari Sulawesi Utara, M. Tabrani dari Jawa Timur, Ratu Kalinyamat dari Jawa Tengah, KH Abdul Chalim di Leuwimunding Jawa Barat, dan KH Ahmad Hanafiah dari Lampung.
Penetapan gelar pahlawan nasionaltersebut berdasarkan surat dari Kementerian Sekretariat Negara RI Nomor R-09/KSN/SM/GT.02.00/11/2023 tertanggal 3 November 2023. Dalam surat tersebut tertulis calon pahlawan nasional yang akan mendapat gelar Pahlawan Nasional pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2023.
Dilansir dari laman resmi Nahdlatul Ulama (NU), KH Abdul Chalim Leuwimunding merupakan salah satu pendiri Nahdlatul Ulama kelahiran Leuwimunding, Majalengka, Jawa Barat. Kiai Abdul Chalim terlibat aktif di awal-awal pendirian NU di Surabaya bersama KH Abdul Wahab Chasbullah. Semasa hidupnya, KH Abdul Chalim Leuwimunding konsisten mendedikasikan diri untuk membangun pendidikan bangsa. Salah satunya melalui gerakan lembaga pendidikan sosial dan politik bernama Taswirul Afkar (kebangkitan pemikiran). Simak profilnya berikut.
Profil KH Abdul Chalim
KH. Abdul Chalim lahir di Leuwimunding, Majalengka, pada 2 Juni 1898. Abdul Chalim merupakan putra dari seorang Kuwu atau Kepala Desa bernama Kedung Wangsagama dan ibunya bernama Satimah. Kakek dari Abdul Chalim juga seorang Kepala Desa Kertagama, putra dari Buyut Liuh yang merupakan putra seorang Pangeran Cirebon. Secara silsilah, KH. Abdul Chalim merupakan keturunan Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Djati.
KH. Abdul Chalim telah menekuni pendidikan agama dari usia remaja. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah H I S (Hollandsch Inlandsche School), Abdul Chalim belajar di beberapa pesantren di wilayah Leuwimunding dan Rajagaluh, di antaranya yakni Pondok Pesantren Banada, Pondok Pesantren al-Fattah Trajaya, dan Pondok Pesantren Nurul Huda al Ma’arif Pajajar.
Kemudian, tahun 1913, Abdul Chalim melanjutkan pendidikannya di Makkah. Sepulangnya dari Makkah, dirinya bergabung dengan temannya KH. Abdul Wahab Hasbullah yang memiliki komitmen untuk memerdekakan Indonesia. Abdul Chalim membantu menangani dan mengelola organisasi-organisasi yang telah dirintis oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah, yaitu Nahdlatul Wathan yang kemudian menjadi Syubbanul Wathon.
Saat mendirikan Subbanul Wathon inilah KH. Abdul Chalim bersama dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah membentuk Komite Hijaz yang bertujuan untuk mengorganisasikan ulama-ulama di Jawa dan Madura demi mencapai kemerdekaan Indonesia.
Dibentuknya Komite Hijaz
Pada awal pembentukan Komite Hijaz, KH Abdul Chalim menulis surat undangan kepada seluruh ulama pesantren di Jawa dan Madura untuk hadir pada pertemuan yang diselenggarakan pada 31 Januari 1926. Isi surat tersebut menekankan pada tujuan kemerdekaan Indonesia dan mendapat respon yang luar biasa dari para ulama sehingga sebanyak 65 ulama hadir dalam pertemuan tersebut.
Dilansir dari laman resmi Provinsi Jawa Barat, Komite Hijaz pada akhirnya mendorong tercapainya kesepakatan di antara para ulama untuk mendirikan Nahdlatul Ulama dengan KH. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Aam dan KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai Katib awal. KH. Abdul Chalim sendiri merupakan Katib Tsani (Sekretaris kedua) pada kepengurusan PBNU periode pertama.
Selain itu, KH. Abdul Chalim juga merupakan pembina kerohanian organisasi semi militer Hizbullah, pendiri Hizbullah untuk wilayah Majalengka dan Cirebon, serta pejuang Hizbullah di beberapa medan pertempuran yaitu Cirebon, Majalengka, dan Surabaya. Karena semangat dan pejuangannya, Abdul Chalim dikenal sebagai Muharrikul Afkar yang artinya penggerak dan pembangkit semangat perjuangan.
KH Abdul Chalim juga pernah mendapat sebutan “Mushlikhu Dzatil Bain” (pendamai dari kedua pihak yang berselisih) karena sering mendamaikan para ulama yang bersitegang. Perjalanan Abdul Chalim juga menapaki dunia politik hingga pernah menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Dilansir dari laman resmi Institus Pesantren KH Abdul Chalim, KH. Abdul Chalim wafat di Leuwimunding pada 12 Juni 1972. Kini, namanya diabadikan menjadi nama perguruan tinggi di Mojokerto, yaitu “Institut Pesantren KH. Abdul Chalim Mojokerto” yang kini sedang proses menjadi Universitas Pesantren KH. Abdul Chalim Mojokerto.
Pilihan Editor: Jokowi Tetapkan 6 Pahlawan Nasional, Ini Syarat Umum dan Khusus Penetapan Tokoh Jadi Pahlawan