TEMPO.CO, Jakarta - Public Virtue Research Institute (PVRI) menilai Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tidak tegas dalam memutuskan perkara Ketua MK Anwar Usman yang terbukti melanggar kode etik. Dari total 21 pelaporan yang masuk ke MKMK, 15 di antaranya melaporkan Anwar Usman telah melanggar prinsip kredibilitas, ketidakberpihakan, profesionalitas, dan rasionalitas ketika memutuskan aturan terkait batas usia capres-cawapres pada 16 Oktober 2023.
Direktur Eksekutif PVRI, Yansen Dinata menilai Anwar Usman seharusnya dipecat secara tidak hormat dari jabatan Hakim MK. “MKMK harusnya proporsional dalam melihat batas pelanggaran etika apa yang bisa ditolerir dengan teguran lisan. Saya kira, nepotisme adalah dosa tak termaafkan bagi demokrasi,” kata Yansen melalui keterangan tertulis, Selasa, 7 November 2023.
Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie mengakui pelanggaran etik ini mudah dibuktikan karena sebagian besar pelapornya adalah guru besar. Sejak putusan MK mengenai batas usia capres-cawapres diputuskan, Anwar Usman dinilai termasuk nama yang berkontribusi pada pengembalian reformasi ke titik nol. Putusan batas usia capres-cawapres telah secara eksplisit menampilkan nepotisme terang-terangan antara Anwar Usman, Gibran Rakabuming Raka, Joko Widodo, dan Prabowo Subianto untuk kepentingan politik elektoral dan keberlangsungan kuasa oligarki.
Program Manager PVRI Axel Paskalis mengatakan sanksi ini secara tidak langsung menyiratkan masyarakat tak lagi menaruh hormat pada proses dan praktik konstitusi yang bersih. “Bagaimana mungkin, sangat terlihat adanya konflik kepentingan dan pelanggaran berat oleh Ketua MK tapi MKMK tidak menjatuhkan sanksi yang berat,” ujarnya.
Menurut Axel, jika MKMK memecat Anwar Usman, maka hal itu bisa menjadi pembuktian bahwa MKMK punya komitmen menjaga iklim MK tetap bersih dan kredibel. Axel menjelaskan, jika membiarkan Anwar Usman cs tetap di dalam MK, maka sama artinya dengan membolehkan pelaku nepotisme tetap memegang kuasa di ruang konstitusi. “Dampak jangka panjangnya, tidak menutup kemungkinan jika MK di kemudian hari bisa digunakan kembali untuk kepentingan oligarki,” ujar Axel.
Senada, Yansen mengatakan di tengah masa-masa menjelang Pemilu 2024 adalah periode rentan. “Jika kemunduran sistemik ini tetap ditoleransi sampai dengan peralihan kekuasaan di 2024 besok, maka sulit untuk membayangkan jika kehidupan sosial-politik kita akan punya iklim yang bersih dan kredibel,” katanya.
“Berikutnya, nepotisme di dalam MK juga tetap dibiarkan. Artinya, satu sisi, putusan mengenai batasan usia dan syarat capres-cawapres itu ditarik atau di-rejudicial review. Dan di lain sisi, sayangnya itu tidak terjadi dan pelaku pelanggar etik tidak diberhentikan,” ujarnya.
Sementara MKMK menyatakan tak berwenang mengubah putusan MK tentang batas usia minimal capres dan cawapres. Hal ini disebabkan MKMK hanya berwenang mengadili pelanggaran etik.
"Tidak terdapat kewenangan MKMK untuk melakukan penilaian hukum terhadap Putusan MK, terlebih lagi turut mempersoalkan perihal keabsahan atau ketidakabsahan suatu putusan," kata Wahiduddin Adams saat membacakan putusan MKMK di Gedung I MK, Jakarta, Selasa, 7 November 2023.
Wahiduddin mengatakan pengubahan putusan MK melampaui jauh batas kewenangannya MKMK. "Seakan memiliki superioritas legal tertentu terhadap MK," kata Wahiduddin.
BAGUS PRIBADI | HAN REVANDA PUTRA
Pilihan Editor: PP Muhammadiyah Desak Anwar Usman Mundur sebagai Hakim MK