TEMPO.CO, Jakarta - Pengusulan KSAD Jenderal Agus Subiyanto sebagai calon Panglima Tentara Nasional Indonesia oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi dinilai bernuansa politik. Nama Agus yang dicanangkan menggantikan Laksamana Yudo Margono, yang pensiun pada akhir November 2023, berpotensi disalahgunakan dalam kepentingan Pemilihan Umum 2024.
“Kami memandang nama Agus Subiyanto rentan dimensi politisnya. Usulan nama itu punya potensi besar disalahgunakan Presiden untuk kontestasi Pemilu 2024,” kata koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan Hussein Ahmad, dalam keterangan tertulis, pada Ahad malam, 5 November 2023.
Agus Subiyanto pernah menjabat Komandan Distrik Militer Surakarta pada 2011. Bersamaan dengan saat Jokowi menjadi Wali Kota Surakarta. Agus adalah mantan Danpaspampres. Menurut Hussein, kendati Jokowi tidak mencalonkan diri sebagai presiden di kontestasi mendatang, tapi putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, akan berlaga di pesta demokrasi tersebut.
Menurut Hussein, masyarakat luas patut ikut mengkhawatirkan adanya potensi politisasi institusi TNI dalam kontestasi pemilu mendatang. TNI harus menyadari perannya sebagai alat negara di bidang pertahanan seperti disebutkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004.
Koalisi menilai praktik pergantian Panglima TNI karena unsur kedekatan jelas mereduksi kebutuhan regenerasi serta rotasi matra TNI. Peralihan jabatan itu diwarnai tujuan dan motif tertentu dan mengarah pada politik praktis. Kepentingan partisan kelompok bersifat jangka pendek. Kepentingan tersembunyi itu sulit dipungkiri menyangkut kepentingan Jokowi.
Penunjukkan calon Panglima TNI, kata dia, harus berdasar pada kepentingan rotasi dan regenerasi di tubuh TNI. “Bukan kedekatan personal maupun kepentingan politik,” ujar Hussain.
Larangan TNI terlibat politik praktis secara tegas disebutkan dalam Pasal 39 UU No. 34. “Karena itu keterlibatan TNI dalam aktivitas politik atau berkaitan dengan itu dilarang dan sebaiknya dihindari,” tutur dia. Pergantian Yudo harus menjadi momentum perbaikan internal TNI. “Mewujudkan tentara sebagai alat pertahanan negara yang profesional, modern, dan menghormati hak asasi manusia.”
Menurut dia, meski pergantian posisi Panglima TNI menjadi hak prerogatif presiden, tapi otoritas itu harus dijalankan dengan bijak dan akuntabel. Bukan hanya pergantian sosok pimpinan, Tapi pergantian posisi Panglima TNI akan mempengaruhi baik-buru wajah tentara ke depan.
Koalisi yang terdiri dari Imparsial, KontraS, YLBHI, Amnesty Internasional, Public Virtue, PBHI, WALHI, ELSAM, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers, ICJR, LBH Pos Malang, Centra Initiative, Setara Institute, dan ICW ini berpendapat pergantian Panglima TNI sejatinya menjadi jalan rotasi dan regenerasi jabatan di tubuh TNI secara fair.
Rotasi kepemimpinan prajurit berbaju loreng itu benar-benar demi kepentingan negara. Bukan demi pemerintah berkuasa. Apalagi rotasi jabatan dilakukan dengan cara nepotisme. “Sayangnya, justru yang kami sinyalir sedang terjadi fenomena nepotisme dalam pergantian Panglima TNI,” ucap peneliti Imparsial itu.
PIlihan Editor: Sederet Temuan PBHI Ihwal Kejanggalan Putusan MK Soal Batas Usia Cawapres