TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa G30S menjadi salah satu peristiwa kelam sejarah bangsa Indonesia. Pasukan Tjakrabirawa membunuh enam jenderal dan satu perwira TNI AD. Sebenarnya, satu perwira itu tidak ada dalam daftar rencana pembunuhan.
Namun, saat itu ia tengah berada di rumah pimpinannya, Jenderal Abdul Haris Nasution. Sang perwira yang mengaku sebagai AH Nasution itu pun dibawa ke Lubang Buaya, sementara AH Nasution berhasil kabur melalui dinding belakang rumah dinasnya. Perwira itu bernama Kapten Pierre Tendean, salah seorang korban G30S 1965.
Biografi Pierre Tendean
Mengutip biografiku.com, Pierre Tendean bernama lengkap Pierre Andries Tendean. Sejak kecil, ia akrab disapa dengan nama Tendean. Ia lahir di Batavia, Hindia Belanda pada 21 Februari 1939. Tendean lahir dari ibu asal Belanda berdarah Perancis dan ayah seorang dokter jiwa keturunan Minahasa.
Tendean adalah anak tengah. Ia memiliki satu kakak dan adik perempuan. Masa kecil Tendean dihabiskan di Magelang karena ayahnya bekerja di sana. Pada saat itu, ayahnya sempat menjadi korban penculikan gerombolan PKI yang sebelumnya memberontak di Madiun pada 1948. Namun, ayahnya berhasil kabur.
Tendean kecil memang tumbuh dengan didikan yang luar biasa disiplin dari ayahnya. Selain itu, ayahnya juga menanamkan nilai-nilai cinta tanah air kepadanya. Ketika beranjak dewasa, Tendean mantap untuk masuk ke Akademi TNI Angkatan Darat. Pilihan tersebut ia ambil walau bertentangan dengan keinginan orang tuanya. Ayahnya ingin Tendean mengikuti jejaknya menjadi seorang dokter, sedangkan ibunya ingin Tendean menjadi insinyur dan kuliah di Institut Teknologi Bandung.
Karier Militer
Pada Agustus 1958, Tendean masuk Akademi TNI AD yang setahun kemudian berubah nama menjadi Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD). Saat di ATEKAD, Tendean mendapat tugas pertamanya. Saat itu, Tendean dan rekan-rekan terlibat dalam operasi pemberantasan PRRI di Sumatera Barat. Di sana, misi Tendean berhasil dan kembali ke ATEKAD
Tendean akhirnya lulus dari ATEKAD pada Tahun 1962. Ia lulus dengan pangkat letnan dua. Setelah itu, ia langsung diangkat untuk menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur Daerah Militer II Bukit Barisan. Tak lama berselang, ia memutuskan untuk mengambil pendidikan intelijen di suatu sekolah intelijen di Bogor. Di sana, ia ditugaskan di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat untuk menjadi mata-mata dalam operasi Dwikora yang dicanangkan oleh Presiden Sukarno. Dalam operasi itu, Tendean sukses besar
Kesukesannya di Malaysia membuatnya menjadi rebutan tiga perwira tinggi untuk menjadikannya ajudan pribadi. Namun, akhirnya Tendean menjadi ajudan AH Nasution. Nasution sangat menginginkan Tendean karena ia membutuhkan ajudan yang kuat dan cerdas. Saat itu, AH Nasution sedang menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan.
Menjelang Peristiwa G30S
Seharusnya Pierre Tendean berada di Semarang pada 30 September 1965. Tahun-tahun sebelumnya, ia selalu rutin ke semarang pada 30 September untuk merayakan ulang tahun ibunya. Namun, di 30 September 1965 itu, ia tidak pulang karena masih bertugas untuk menjaga AH Nasution.
Sore itu, Tendean masih bermain dengan anak AH Nasution, yaitu Ade Irma Suryani. Siapa sangka, itu adalah kali terakhir mereka bermain bersama. Pada malam itu, Tendean dibawa oleh satu kompi pasukan Pembantu Letnan Dua Djaharup ke Lubang Buaya. Ia dibawa pasukan karena dikira ia adalah AH Nasution. Di Lubang Buaya, Tendean menghembuskan nafas terakhirnya bersama enam jenderal TNI AD dalam Peristiwa G30S. Ade Irma Suryani yang terkena tembakan pasukan Cakrabirawa pun tak lama kemudian meninggal.
ANANDA RIDHO SULISTYA | RAHMAT AMIN SIREGAR
Pilihan Editor: Pierre Tendean dan Ade Irma Suryani Foto Bersama 2 Bulan Sebelum Tragedi G30S