TEMPO.CO, Jakarta - Dalam acara Dies Natalis ke-2, IM57+ Institute menyerukan lima sikap atas situasi demokrasi di Indonesia yang dinilai terancam melalui upaya kriminalisasi terhadap kelompok yang kritis. Padahal, era reformasi di Indonesia sudah berusia 25 tahun.
Arif Maulana dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang memimpin deklarasi itu mengatakan demokrasi di Indonesia mengalami tantangan atas berbagai upaya perangkat negara untuk menumbuhkan kriminalisasi kepada para pejuang demokrasi. Dalam bidang antikorupsi, kata Arif, bukan hanya memangkas independensi KPK melalui perubahan regulasi, tetapi juga menempatkan orang yang bermasalah di pucuk pimpinan.
“Masyarakat sipil pun harus mendapat ancaman serius, menjadi tersangka bahkan terdakwa ketika mengungkap dugaan konflik kepentingan dan korupsi yang dilakukan pejabat pemerintahan,” kata Arif, Jumat, 29 September 2023.
Kondisi yang sama juga diyakini Arif terjadi di berbagai bidang, seperti penanganan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM), berbagai ancaman fisik dan nonfisik, Omnibus Law, perburuhan, dan isu lainnya. Dia menilai, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak menjalankan fungsi penyeimbang dan seolah mendukung segala upaya pemerintah.
Oleh karena itu, IM57+ dan masyarakat sipil menyerukan lima tuntutan melalui Deklarasi Melawan Kriminalisasi: 25 Tahun Reformasi, Demokrasi Tanpa Kriminalisasi. Adapun, poin-poin deklarasi sebagai berikut:
Pertama, menolak segala bentuk kriminalisasi yang memukul mundur nilai-nilai reformasi. Kedua, meminta presiden agar menghentikan segala bentuk kriminalisasi melalui pembuatan perangkat hukum yang melindungi dan memerintahkan aparat penegak hukum untuk berhenti melakukan kriminalisasi terhadap para pejuang demokrasi, antikorupsi, hak asasi manusia (HAM), buruh, dan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Termasuk proses hukum Haris-Fathia, Denny Indrayana, warga Pulau Rempang, dan lainnya.
Ketiga, DPR harus menunjukkan fungsi sebagai kekuatan penyeimbang dengan mengoptimalkan fungsi penyeimbang untuk mereprentasikan kepentingan publik. Keempat, lembaga yudikatif harus menempatkan diri sebagai lembaga pemulih hak asasi manusia serta hak konstitusional yang mendasar bagi manusia dan menolak segala intervensi dari lembaga eksekutif. Kelima, menyerukan kepada elemen masyarakat sipil untuk bersatu dan terkonsolidasi dalam melawan kriminalisasi.
Indonesia Memanggil 57+ (IM57+) merupakan organisasi yang didirikan oleh mantan pegawai KPK yang disingkirkan dari lembaga antirasuah itu melalui Tes Wawasan Kebangsaan. Hari ini, pada 29 September, mereka merayakan ulang tahun ke-2 dengan berbagai rangkaian acara, di antaranya IM57+ Award, Orasi, Pemutaran Film Dokumenter IM57+, Pertunjukan Musik, dan ditutup dengan Stand Up Comedy.
Sementara itu, Dewan Pakar IM57+, Mas Acmad Sentosa, menyatakan malam itu sebagai sarana penting bagi masyarakat sipil untuk merefleksikan kembali esensi dan prasyarat penting dari demokrasi, yaitu bertumbuhnya gerakan antikorupsi yang efektif, terbentuknya kebebasan sipil, kebebasan berpendapat, perlindungan hukum yang kuat dari kriminalisasi dan jenis pembungkaman lainnya. Prasyarat ini akan terwujud, kata Acmad, ketika masyarakat sipil bersatu dari berbagai lintas isu dan pemerintah mendengar dan membangun kebijakan perlindungan hukum bagi pegiat HAM, pegiat antikorupsi, dan pejuang kepentingan publik lainnya.
“Semoga IM57+ bisa memberikan pengaruh terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia,” kata dia ketika memberikan sambutan pada acara itu.
Pilihan Editor: Dies Natalis ke-2, IM57+ Gaungkan Kolaborasi Melawan Kriminalisasi yang Memukul Mundur Demokrasi