INFO NASIONAL - Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (F-Gerindra) MPR mengadakan Diskusi Publik Akademik dengan tema “Mengembalikan MPR RI sebagai Lembaga Tertinggi Negara: Kemajuan atau Kemunduran dalam Demokrasi?”. Kegiatan berlangsung di Bogor pada Rabu silam, 6 September 2023.
Anggota MPR/DPR yang jadi pembicara yakni Sekretaris F-Gerindra MPR Elnino Mohi, Sodik Mudjahid, Katherine Oendoen, dan Bahtra Banong. Turut menghadirkan dua pakar yakni Fuad Bawazier dan Martin Hutabarat.
Sebelumnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2023 pada 16 Agustus silam menyatakan, setelah 25 tahun memasuki era reformasi kini saatnya merenungkan kembali penataan lembaga-lembaga negara.
Menurut Fuad Bawazier, hal terpenting dalam penyelenggaraan negara adalah kesepakatan dan semangat. Jika semua hal tersebut disepakati, bukan tidak mungkin mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dapat diwujudkan.
Seperti halnya pada masa Orde Baru, hal tersebut dapat terwujud karena memang semangat dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan pada saat itu menginginkan adanya lembaga tertinggi yang dapat mengambil keputusan sepihak disaat negara, berada dalam keadaan mendesak ataupun berbahaya.
Pada saat itu, MPR merupakan pengejawantahan dari kekuasaan rakyat. Saat masa Reformasi, euforia demokrasi sangatlah menggebu secara nasional. Akhirnya, semangat yang sebelumnya ada pun berubah. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan semua setara sebagai lembaga negara.
“Tentu saja, tidak serta-merta mengembalikan segala macam hak dan kewenangannya seperti pada saat Orde Baru. Ada yang harus disesuaikan dengan dinamika masyarakat saat ini,” ujarnya.
Menurut Elnino Mohi, penguatan kembali MPR pertama kali disuarakan oleh DPD. Berangkat dari ketimpangan wewenang yang ada antara DPR dengan DPD. Mayoritas anggota DPR menolak penyetaraan wewenang DPR dengan DPD karena dapat meningkatkan kompleksitas dalam pengambilan keputusan dan pembuatan undang-undang. Akhirnya, usulan yang relatif disetujui adalah penguatan MPR.
Elnino menekankan pengembalian MPR menjadi lembaga tertinggi, merupakan cara untuk efisiensi waktu dalam pengambilan suatu keputusan. Dengan demikian, anggota DPR dan DPD yang tergabung dalam MPR dapat turut serta dalam pengambilan keputusan. MPR kembali dapat membuat ketetapan dalam bentuk TAP MPR-RI yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam pembuatan undang-undang selain dari UUD 1945.
Martin Hutabarat juga memberikan pendapatnya mengenai isu ini. “Kita harus memperjelas maksud dari mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Lembaga tertinggi negara seperti apa dan bagaimana yang diinginkan saat ini. Lembaga tertinggi negara yang sesuai dengan UUD 1945 atau yang tidak sesuai dengan UUD 1945,” ujarnya.
Tentu, menurut Martin, semua harus mengevaluasi isu ini, menyerap aspirasi rakyat, dan kemudian membuat kajiannya untuk dapat mengetahui untung dan ruginya jika MPR kembali menjadi lembaga tertinggi.
Di kesempatan yang sama, Sodik Mudjahid menjelaskan bahwa euforia demokrasi di Indonesia berlangsung sangat masif dan cepat pasca reformasi. Menurutnya, demokrasi di Indonesia sudah cenderung mengarah ke demokrasi liberal.
“Seharusnya, kita tetap berpegang pada Pancasila, dari mulai ekonomi dan juga politiknya yang berlandaskan pada musyawarah. Pada intinya, kita harus mengevaluasi sistem yang ada saat ini,” katanya.
Pada akhirnya, mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara merupakan suatu hal yang mungkin saja dapat diwujudkan. Namun, hal tersebut tidaklah mudah. Sebab, tentu akan menimbulkan perdebatan dari berbagai kalangan masyarakat. Sehingga, perlu kiranya wacana ini harus disertai dengan kajian akademis yang matang.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi, tidak serta-merta berbentuk seperti masa lalu. Diperlukan berbagai penyesuaian dengan dinamika masyarakat saat ini. (*)