TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, menilai munculnya calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Ganjar Pranowo dalam azan di stasiun televisi RCTI bukan sebagai bentuk politik identitas. Dia menilai kemunculan Ganjar seperti itu sama halnya seperti kemunculan tokoh politik dalam iklan ucapan hari-hari besar keagamaan lainnya.
"Jelas bukan politik identitas. Politik identitas tak sederhana begitu definisinya. Itu hanya tayangan orang sholat. Mengajak kebaikan," kata Adi saat dihubungi, Ahad, 10 September 2023.
Adi kemudian mengatakan kemunculan elit politik di dalam video serupa adalah hal lumrah dan perkara biasa. Bukan hanya konteks azan, elit politik juga melakukan praktik tersebut saat iklan ucapan Ramadhan atau perayaan hari besar.
"Banyak sekali elit negara yang tampil jelang dan saat buka puasa bilang marhaban ya Ramadhan dan mengucapkan selamat berpuasa, dituding politik identitas? Padahal bukan politik identitas," kata Adi.
Makna politik identitas
Adi pun menegaskan bahwa politik identitas adalah sebuah aktivitas politik mengajak orang lain memilih calon dalam pemilu berdasarkan sentimen agama, suku, dan ras. Kemudian mempengaruhi hanya datang ke TPS untuk memilih dirinya atau jagoan yang didukung.
"Jadi, politik identitas itu aktivitas politik, bukan aktivitas ibadah," ujarnya.
Adapun konteks seorang politikus atau kandidat capres tampak mengikuti salat atau ritual keagamaan lainnya bagian dari reljiusitas.
"Mengikuti salat, ikut pengajian, dan seterusnya, itu bukan politik identitas. Tapi bagian sisi relijiusitas," kata Adi
Adi pun tampak menyayangkan bahwa kondisi masyarakat saat ini sangat sedikit literasi politiknya. Bukan hanya sipil saja, bahkan seorang elit politik juga demikian.
"Seakan semua yang berkaitan dengan simbol agama adalah politik identitas. Padahal sebatas relijiusitas," ujar Adi.
Dalam menghadapi tahun politik yang semakin dekat ini, Adi mengatakan bahwa dinamika politik akan semakin rumit jika suatu manuver politisi dituding sebagai politik identiitas.
"Repot kalau pake kopiah dituding politik identitas. Repot kalau orang sholat, ngaji, sedekah, dan lain-lain dituding politik identitas," ujarnya.
Adi lantas mencontohkan praktik politik identitas yang pernah dialami Indonesia pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019. Dia menilai dalam dua ajang itu, terjadi upaya untuk memobilisasi dukungan kepada satu calon tertentu dengan menggunakan simbol-simbol agama.
"Ada pendukung calon tertentu yang menuding pihak lain kafir dan setan. Sementara jagoannya diklaim paling malaikat," ujarnya.
Selanjutnya, PDIP bantah ada politik identitas