TEMPO.CO, Jakarta - Ernest Douwes Dekker merupakan seorang Belanda yang lahir di Pasuruan pada 7 Oktober 1879 dan meninggal pada 28 Agustus 1950. Ernest terlahir dari pasangan Auguste Henri Eduard Douwes Dekker dan Louisa Margaretha Neumann.
Dilansir dari situs Kebudayaan.kemdikbud.go.id, keluarga Ernest merupakan kreol atau Eropa murni yang tinggal di hindia Belanda. Sementara ibunya memiliki keturunan Jawa dan Jerman, ia kemudian dapat tergolong sebagai Indo-Eropa.
Memberontak di Perkebunan Kopi dan Pabrik Gula
Ernest menempuh pendidikan di HBS Batavia. Selepas sekolah, ia menjadi pegawai perkebunan kopi di Sumber Duren, Gunung Semeru. Ketika menjadi pegawai inilah, Ernest pertama kali melihat bagaimana kolonial mengeksploitasi pribumi. Dari situ, ia terusik dan sempat bersitegang dengan R Jesse atasannya di perkebunan tersebut.
Setelah diberhentikan, Ernest kemudian menjadi pegawai laboratorium dan ahli kimia di pabrik gula Pajarakan, Probolinggo. Ia kemudian kembali berulah karena adanya ketidak adilan di sana. Pada Februari 1900, Ernest bertolak dari Batavia menuju Afrika Selatan. Di sana ia menjadi sukarelawan untuk membantu orang-orang Boer melawan Inggris, meskipun akhirnya kalah. Pada 1902, ia kemudian ditahan oleh pemerintah Inggris.
Kiprah di Dunia Jurnalistik
Setelah ditahan, ia kembali ke Hindia Belanda dengan memulai debutnya di dunia politik dan jurnalisme. Dilansir dari Tempo, ia menjadi reporter De Locomotief di bawah pimpinan P. Brooschoft. Ia kemudian melanjutkan karier dengan bergabung bersama Soerabaiasch Handelsblad serta menjadi salah satu staf redaksi Bataviaasch Nieuwsblad.
Kaya akan pengalaman di jurnalistik, ia kemudian mendirikan surat kabar sendiri, yakni majalah Tijdschrift yang nantinya berganti nama menjadi majalah De Express. Dalam tulisan-tulisannya, ia kerap membuat tulisan yang pro terhadap kaum Indo dan pribumi dan kontra terhadap kolonialis.
Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga kerap berdiskusi dan berkumpul dengan para perintis gerakan kebangkitan nasional, seperti Soetomo sampai Cipto Mangunkusumo. Ia juga memberikan bantuan dalam mendirikan organisasi Budi Utomo.
Pada 6 September 1912, bersama Cipto Mangunkusumo dan Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara, Ernest mendirikan partai politik pertama di Indonesia, yakni Indisce Partij. Pada 1921, pemerintah kolonial membubarkan Nationaal Indische Partij yang dianggap membahayakan dan menggangu ketertiban umum.
Kiprah di Pendidikan
Selepas bubar, Ernest kemudian pergi ke Bandung. Pada 1923, Ernest masuk ke dalam Institut Pengajaran Priangan dan perkumpulan pengajaran rakyat di Bandung. Lembaga tersebut kemudian ebrubah menjadi yayasan yang bernama School Vereeniging Het Kesatrian Instituut atau sering disingkat Kesatrian Institut. Ernest menjadi ketua. Pada 1941, Ernest ditangkap dan ditahan di Ngawi karena dianggap menjadi kaki tangan Jepang.
Nama Ernest kemudian diubah menjadi Danudirja Setiabudi oleh Presiden Sukarno setelah Indonesia Merdeka. Danu memiliki arti yaitu banteng, Dirja berarti kuat dan tangguh, dan Setiabudi memiliki arti berbudi setia.
Kisah Asmara
Kehidupan asmara Ernest sendiri tidak terlalu mulus. Selama hidupnya, Ernest telah menikah sebanyak tiga kali. Pernikahan pertamanya yaitu bersama dengan Clara Charlotte Deije (1895-1968), anak dokter campuran Jerman-Belnada pada tahun 1903. Ia kemudian menikah lagi dengan Johanna Petronella Mossel pada 1927. Setelah ditangkap Belanda dan diasingkan di Suriname pada 1941, Ernest menetap kembali di Belanda dan menikah dengan Nelly Alberta Geertzema.
ANANDA BINTANG I TIM TEMPO.CO
Pilihan Editor: Dua Douwes Dekker yang Berbeda, Multatuli dan Danudirja Setiabudi