TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun menyebut pernyataan Rocky Gerung yang dianggap menghina Presiden Joko Widodo atau Jokowi masih dalam level standar sebagai oposisi. Dalam pernyataannya yang viral, Rocky menyebut Jokowi hanya memikirkan kepentingan sendiri di penghujung masa jabatannya sebagai Presiden dan dia juga melontarkan kata kasar.
"Saya sebut standar karena itu hal umum di negara yang memilih sistem demokrasi. Apalagi Indonesia di era saat ini memilih jalan demokrasi liberal (bukan demokrasi Pancasila). Ini terlihat dari cara-cara Presiden mengelola negara sangat liberal, saking liberalnya sampai mengarah kepada new-otoriterianism," ujar Ubedilah dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 1 Agustus 2023.
Menurut Ubedilah, negara yang sifatnya demokrasi liberal, siapapun presidenya, harus siap dikritik oleh oposisi dengan beragam narasi yang mungkin bernada hinaan. Kalau tidak siap dikritik dengan keras, kata Ubedilah, maka jangan pernah mau jadi presiden di negara liberal seperti Indonesia.
"Apa yang disampaikan Rocky Gerung harus ditonton dan dibaca dalam satu rangkaian narasi yang utuh dan panjang, jangan sepotong - sepotong hanya di bagian kata bajingan, tolol atau pengecut," ujar Ubedilah.
Masyarakat diminta melihat makna konotatif pernyataan Rocky
Lebih lanjut, ia menyebut masyarakat harus melihat argumen dan konteks atau bahkan makna konotatif pernyataan Rocky Gerung secara semiotik. Dengan demikian, Ubedilah berpendapat masyarakat bakal menemukan argumen dan konteksnya.
Ia berpendapat argumen, konteks dan makna semiotik dari pernyataan Rocky tidak masalah karena posisinya secara politik adalah oposisi dari pemerintahan Presiden Jokowi
"Jadi sebagai oposisi ia berhak melakukan kritik dengan bahasa sesuai standarnya Rocky Gerung yang tentu ia memiliki argumen, konteks dan makna semiotiknya tersendiri secara konotatif, tidak dimaknai begitu saja secara denotatif," kata Ubedilah.
Selanjutnya, Rocky dianggap akrab dengan penguasa