TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letnan Kolonel Arif Budi Cahyanto sebagai tersangka suap di instansi pencarian dan pertolongan tersebut pada Rabu 26 Juli 2023. Penetapan tersebut dilakukan setelah KPK menggelar operasi tangkap tangan sehari sebelumnya.
Dalam operasi itu, KPK menangkap Arif beserta Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil pada Selasa, 25 Juli 2023.
Marilya dan Roni disebut tengah menyerahkan uang senilai Rp 999,7 juta kepada Arif. Uang itu disebut sebagai bagian dari commitment fee karena PT Intertekno dan PT Kindah menang dalam sejumlah proyek pengadaan barang di Basarnas. KPK juga menetapkan atasan Marilya, Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan, sebagai tersangka.
Koalisi Sipil: pemerintah wajib evaluasi keberadaan TNI aktif di instansi sipil
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak pemerintah untuk mengevaluasi keberadaan prajurit TNI aktif di institusi sipil imbas kasus korupsi di Basarnas RI. Dalam kasus tersebut dua TNI; Kepala Basarnas (Kabasarnas) Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas RI, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
"Pemerintah wajib mengevaluasi keberadaan prajurit TNI aktif di berbagai instansi sipil, terutama pada instansi yang jelas bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU TNI, karena hanya akan menimbulkan polemik hukum ketika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh prajurit TNI aktif tersebut," bunyi siaran pers Koalisi Sipil, Sabtu, 29 Juli 2023.
Seperti dalam kasus ini, KPK telah menetapkan Henri dan Afri sebagai tersangka korupsi karena terjaring operasi tangkap tangan atau OTT. Namun, kasus tersebut akhirnya diserahkan ke Puspom TNI karena kasus keduanya bakal diusut melalui mekanisme TNI.
Koalisi melihat hal ini menjadi celah karena kasus korupsi yang melibatkan TNI tidak bisa diusut secara cepat dan tuntas. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR didesak untuk segera merevisi UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer karena selama ini aturan tersebut sering digunakan sebagai sarana impunitas dan alibi untuk tidak mengadili prajurit TNI di peradilan umum.
"Apalagi agenda revisi UU Peradilan Militer ini menjadi salah satu agenda yang dijanjikan oleh presiden Jokowi pada Nawacita periode pertama kekuasaannya," ujar Koalisi.