TEMPO.CO, Yogyakarta - Pakar pendidikan yang juga pengajar Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Muhammad Nur Rizal, menyoroti tradisi Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah atau MPLS. Dia meminta agar tradisi yang selalu dilaksanakan untuk menyambut siswa baru itu tak lagi menggunakan prinsip junior-senior seperti sebelumnya.
Dia mengigatkan MPLS merupakan mekanisme untuk memperkenalkan siswa kepada lingkungan sekolahnya yang baru.
"Masa MPLS harus dipahami dulu, proses untuk memperkenalkan siswa baru dengan berbagai aspek penting kehidupan sekolah," kata Rizal, Kamis 13 Juli 2023.
Mengingatkan agar tak ada lagi pendekatan junior-senior
Rizal yang juga inisiator Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) itu menyoroti beberapa kegiatan MPLS di sekolah menerapkan pendekatan yang terlalu kaku hingga tak berbeda dengan ospek gaya lama.
"MPLS ditempatkan fokus pada aturan atau tugas, dan bahkan mempertahankan budaya feodalistik
senioritas-junioritas," kata Rizal.
Baca Juga:
Rizal menuturkan MPLS justru menjadi ruang paling awal mengenalkan siswa tentang sekolah sebagai lingkungan belajar dan tempat tinggal yang aman, nyaman, bebas dari perundungan, kekerasan fisik dan psikis, serta intoleransi dan diskriminasi.
"MPLS menjadi tempat awal mengenalkan prinsip kesetaraan itu," kata dia.
MPLS bisa pengaruhi perilaku siswa
Gagalnya sekolah dalam memahamkan MPLS sebagai awal proses belajar siswa, ujar Rizal, tak bisa dilepaskan dari perilaku perilaku siswa di sekolah itu di kemudian waktu. Siswa bisa menjadi asing dengan lingkungan, terpojok, dan terdiskriminasi. Sehingga memicu tindakan tindakan yang tak terkendali sebagai ekspresinya.
Rizal mencontohkan kasus kekerasan di lingkungan sekolah yang berujung pada pembakaran sekolah dan kematian anak semakin meningkat. Dendam akibat perundungan di sekolah dan kurangnya perhatian guru telah menyebabkan kasus pembakaran sekolah dengan bom molotov oleh seorang siswa di Temanggung beberapa waktu lalu.
Selain itu, dia juga mencontohkan kasus kematian seorang anak usia SD akibat stres akibat perundungan oleh tiga siswa SMP. Kasus-kasus ini, menurut dia, mencerminkan budaya senioritas dan diskriminasi yang masih berlangsung di lingkungan pendidikan.
"Fenomena ini semakin merebak di era digital jika tidak dianggap serius oleh guru dan orang dewasa yang bertanggung jawab," kata dia.