TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyebut tidak semua keluarga korban pelanggaran HAM berat masa mau diungkap ke publik. Pengungkapan itu dilakukan karena pemerintah telah membentuk Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dan bakal memberikan sejumlah kompensasi untuk korban dan keluarga korban.
Salah satu yang tidak mau diungkap ke publik yakni keluarga korban penembakan misterius (petrus). "Korbannya ini pun, saya minta maaf, ketika ditemui oleh Tim memohon agar tidak diumumkan sebagai korban HAM Petrus karena malu. 'Masak saya sudah jadi direktur bank, masak ayah saya ditembak karena preman,' coba. Ini temuan Pak, tidak semua orang mau, loh," ujar Mahfud dalam Raker Komite 1 DPD RI, Selasa, 4 Juli 2023.
Selain Petrus, Mahfud MD menyebut para korban pelanggaran HAM berat masa lalu berupa pembunuhan kiai yang dituduh dukun santet di Banyuwangi, Jawa Timur juga enggan diungkap identitasnya ke publik. Keluarga korban merasa malu dituduh sebagai keturunan tukang santet. "Sehingga yang mau diberikan santunan diam-diam. Sekolahnya dibangun lagi, pesantrennya dibangun lagi, apa dasar hukumnya? Tidak ada dasar hukum, tapi kebijakan politik," kata Mahfud.
Mahfud MD mengakui pemerintah kesulitan mengungkap pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Menurut Mahfud, pemerintah sudah berupaya membawa 4 dari 16 peristiwa ke Pengadilan HAM dengan 35 terdakwa, namun seluruh terdakwa dinyatakan tak bersalah dan bebas. "Jadi kita ini tidak bisa membuktikan di pengadilan, bukan tidak mau. Karena kalau mau membuktikan di Pengadilan HAM itu kan akan ditanya oleh hakim, pelakunya siapa? Membunuh dengan apa? Tanggal berapa, jam berapa? visum et Repertumnya mana? Itu hilang semua, ndak ada. Tahun 65 apa lagi, orang udah pada meninggal semua," ujar Mahfud.
Beberapa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang dicoba untuk dibawa ke Pengadilan HAM, antara lain Peristiwa Jejak Pendapat Timor Timur dengan terdakwa 18 orang, Peristiwa Tanjung Priok 14 orang, Peristiwa Abepura dua orang, dan Peristiwa Paniai satu orang.
Mahfud menyebut pemerintah kesulitan mendapatkan bukti pelanggaran HAM dari peristiwa tersebut. Menurut dia, pembuktian pelanggaran HAM harus dibuktikan secara hukum acara. Namun, karena waktu peristiwa yang sudah terlampau lama, semua pembuktian itu menjadi sangat sulit. Sehingga sejak 25 tahun reformasi, Mahfud menyebut belum pernah ada satu pun kasus pelanggaran HAM yang pelakunya dinyatakan bersalah. "Pelanggaran HAM berat dari 16 yang ditetapkan Komnas HAM, 4 sudah diadili dan bebas semua. Ini sisanya semakin sulit diadili karena buktinya semakin tidak ada," kata Mahfud.
Pilihan Editor: Mahfud MD Akui Pemerintah Kesulitan Buktikan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu