TEMPO.CO, Jakarta - Tim kuasa hukum Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti melaporkan majelis hakim yang menangani sidang kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap Luhut Binsar Pandjaitan ke Komisi Yudisial (KY).
Mereka yang dilaporkan adalah Ketua Pengadilan Hongkuh Otoh, Hakim Ketua Cokorda Gede Arthana, dan dua hakim anggota Muhammad Yohan Arifin serta Agam Syarif Baharudin.
Hakim memiliki kekuasaan tertinggi di meja peradilan. Siapa pun yang tersandung perkara harus tunduk pada putusan hakim. Itu sebabnya hakim seolah-olah menjadi wakil Tuhan dalam memutuskan kebenaran dan keadilan.
“Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,” bunyi Pasal 1 angka 8 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Sebagai “wakil Tuhan” tentu menjadi hakim tak boleh sembarangan. Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, profesional, bertakwa dan berakhlak mulia, serta berpengalaman di bidang hukum. Hal itu tertuang dalam Pasal 13b Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
Lantas apa syarat menjadi hakim?
Syarat-syarat untuk menjadi hakim juga tertuang dalam Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14, adapun syarat-syarat menjadi hakim yaitu harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Warga negara Indonesia.
2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Sarjana hukum.
5. Lulus pendidikan hakim.
6. Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban.
7. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
8. Berusia paling rendah 25 tahun dan paling tinggi 40 tahun.
9. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Menurut Pasal 16, hakim pengadilan diangkat oleh Presiden atas usulan Ketua Mahkamah Agung. Demikian juga dengan pemberhentian hakim pengadilan, merupakan wewenang Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dan atau Komisi Yudisial melalui Ketua Mahkamah Agung. Usul pemberhentian hakim hanya dapat dilakukan apabila yang bersangkutan melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Hakim dapat diberhentikan secara hormat dan dengan tidak dengan hormat. Dalam pasal 19, adapun hakim diberhentikan dengan hormat karena atas permintaan sendiri secara tertulis, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus, ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya, dan meninggal dunia.
Sementara pemberhentian dengan tidak hormat dijatuhkan kepada hakim apabila dipidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, melakukan perbuatan tercela, melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus-menerus selama 3 bulan, melanggar sumpah atau janji jabatan, melanggar larangan, serta melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Pilihan Editor: Kuasa Hukum Haris Azhar - Fatia Maulidiyanti Laporkan 4 Majelis Hakim PN Jaktim, Ini Profilnya