Ketika berkenalan dengan Andri dan Anita pada Juni 2022, PR jelas belum tahu bahwa keduanya merupakan pelaku TPPO. Menurut M, setelah berkenalan dengan kedua orang itu, suaminya selalu mengikuti rapat melalui Zoom mengenai persiapan keberangkatan ke Thailand. Rapat dilakukan setiap hari setelah pukul 9 malam.
Dari rapat itu, M mendapatkan cerita dari PR mengenai janji kerja yang ditawarkan. Menurut dia, Pepen dijanjikan akan bekerja di perusahaan bidang teknologi informasi di Thailand dengan bayaran Rp 10 juta hingga 20 juta per bulan. Kontrak kerja akan berlaku selama 6 bulan dan jika para pekerja mau memperpanjang kontrak hingga 10 bulan akan mendapatkan bonus.
“Kami keluarga sudah mengingatkan untuk hati-hati, tetapi mungkin karena tawaran gajinya yang besar suami saya tergiur untuk berangkat,” tutur M.
Pada 10 Juli 2022, PR akhirnya benar-benar pergi menuju Thailand bersama 5 WNI lainnya. M menceritakan ketika baru sampai di Thailand, suaminya sempat mengirimkan foto dan video rombongan sedang makan seafood.
Tetapi Thailand ternyata bukan tempat tujuan akhir rombongan tersebut. Keesokan harinya, PR dan kawan-kawan dijemput menggunakan mobil dan dibawa ke perbatasan Myanmar. “Tempat tujuannya itu di hutan dan jauh dari mana-mana,” kata M.
Menurut M, awalnya komunikasi dengan suaminya masih berjalan lancar. Begitu tiba di perusahaan tersebut, paspor suaminya langsung ditahan. Seminggu pertama PR dan WNI lainnya menjalani pelatihan. Setelah dua minggu, M mengatakan Pepen baru sadar bahwa mereka telah dipekerjakan sebagai pelaku penipuan online. “Dia chat saya minta tolong lapor ke KBRI karena dipekerjakan dengan tidak benar,” ujar M.
Pesan-pesan yang dikirim PR di waktu-waktu berikutnya membuat M makin khawatir. Para pekerja di perusahaan itu, kata dia, akan dihukum apabila gagal memenuhi target kerja. Para pekerja dipaksa berlari mengelilingi lapangan bola basket di siang hari sambil mengangkat galon berisi air. Bentakan dan makian, kata dia, menjadi makanan sehari-hari yang dialami oleh suaminya. “Sepertinya dia tidak mau cerita lebih banyak, karena takut saya semakin khawatir,” kata dia.
Menurut M, suaminya bukan satu-satunya WNI yang dipekerjakan di perusahaan itu. Setelah PR dan 5 WNI mulai bekerja di perusahaan itu, ada lagi rombongan WNI lain yang menyusul bekerja. “Mungkin sekarang jumlahnya 10 orang,” kata dia.
M mengatakan Pepen hanya diberikan waktu 5 menit setiap hari untuk berkomunikasi dengan dirinya. Lambat laun, kata dia, akses komunikasi suaminya benar-benar diputus. Pepen, kata dia, hanya sesekali menghubunginya lewat nomor telepon yang digunakannya untuk melakukan pekerjaan menipu orang. “Terakhir saya komunikasi tanggal 7 Mei kemarin,” kata dia.
Menurut M, keluarga bukannya tidak berusaha mengeluarkan PR. Negosiasi dengan pihak perusahaan sempat dilakukan pada November 2022. Pihak perusahaan, kata dia, meminta tebusan Rp 160 juta.
M dan keluarga sempat berpikir untuk menjual rumah mertua guna mendapatkan uang yang cukup untuk membebaskan suaminya. Tetapi, niat itu dibatalkan karena perusahaan tidak bisa memberikan jaminan Pepen bakal dilepas setelah uang ditransfer.
M juga mengaku sudah melaporkan permasalah suaminya ini ke pihak Kementerian Luar Negeri sejak Agustus tahun lalu. Menurut dia, pihak Kemenlu maupun Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yangon mengaku sudah berusaha untuk membebaskan para WNI, namun kesulitan mengingat kondisi suaminya yang berada di kawasan yang dikuasai oleh pemberontak.
M menjadi heran ketika mendengar pemerintah berhasil membebaskan 20 WNI yang juga menjadi korban TPPO di Myanmar setelah kasus mereka viral. “Apa tidak ada pertolongan tanpa viral?” kata dia.
Selanjutnya kata Kemenlu soal kasus ini...