Lebih lanjut, LBM PBNU menilai pasal tersebut secara tidak langsung akan menjadikan para petani tembakau dan seluruh pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) sebagai seorang kriminil layaknya penanam ganja, pemakai, atau bahkan pengedar narkoba. Tak hanya itu, ruang-ruang yang tersedia bagi buruh, pekerja, dan ekosistem IHT dikhawatirkan akan semakin menyempit.
"Penyempitan ruang gerak serta stigmatisasi buruk sebagai dampak yang dikhawatirkan dari adanya RUU Kesehatan ini berbanding terbalik dengan kontribusi IHT terhadap beberapa sektor ekonomi strategis negara,” demikain pernyataan sikap LBM PBNU.
LBM PBNU menilai, industri tembakau lahan strategis dan signifikan bagi lapangan pekerjaan rakyat Indonesia. Mereka mengutip data Kementerian Perindustrian menyebutkan, total tenaga kerja yang terserap dalam industri rokok sebanyak 5,98 juta orang. Angka tersebut terdiri dari 4,28 juta orang bekerja di sektor manufaktur dan industri. Sementara 1,7 juta orang sisanya bekerja di sektor perkebunan.
"Segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT) merupakan tumpuan ladang kerja bagi para ibu rumah tangga dan dalam beberapa titik juga banyak ditemui para penyandang disabilitas," demikian bunyi dalam keterangan itu.
Tempo menghubungi Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi soal penolakan PBNU ini, namun belum ada tanggapan hingga berita ini diturunkan.
Sebelumnya, juru bicara Kementerian Kesehatan RI Mohammad Syahril memastikan pemerintah tidak lantas menyamakan perlakuan tembakau dan juga alkohol dengan narkotika serta psikotropika. Maksud dari pengelompokan tersebut hanya dikaitkan dengan zat adiktif yang memiliki unsur ketergantungan jika dikonsumsi.
"Pengelompokan tersebut bukan berarti tembakau dan alkohol diperlakukan sama dengan narkotika dan psikotropika di mana kedua unsur tersebut ada pelarangan ketat dan hukuman pidananya," katanya dalam keterangan tertulis 14 April lalu.
"Narkotika dan psikotropika diatur dalam Undang-Undang khusus. Tembakau dan alkohol tidak akan dimasukkan ke dalam penggolongan narkotika dan psikotropika karena berbeda undang-undangnya," lanjut dia.
Syahril juga membantah kemungkinan pelarangan dan pidana tembakau serta alkohol disamakan dengan ganja dan lainnya. Pengelompokan tembakau dan alkohol sebagai zat adiktif disebutnya juga sudah ada dalam UU Kesehatan yang saat ini berlaku, sehingga tidak benar jika tembakau dan alkohol akan diperlakukan sama dengan narkotika dan psikotropika melalui RUU Kesehatan Omnibus Law.
Pilihan Editor: Kemenkes Imbau Dokter Tak Tinggalkan Pelayanan karena Demo Tolak RUU Kesehatan