INFO NASIONAL - Ketua MPR Bambang Soesatyo menegaskan Indonesia perlu segera menyiapkan langkah-langkah antisipasi terjadinya situasi darurat konstitusi atau kedarutan yang memaksa tidak dapat terlaksananya konstitusi.
Langkah ini diyakini dapat menjadi solusi mengatasi persoalan yang dihadapi oleh negara termasuk dalam upaya menghadirkan kembali PPHN sebagai peta jalan pembangunan bangsa.
Langkah antisipasi ini dengan cara mengembalikan kewenangan MPR RI menggunakan kewenangan subjektif superlatif MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara. Kewenangan subjektif superlatif penting berada di MPR jika negara dihadapkan pada situasi kebuntuan politik antarlembaga negara atau antar-cabang kekuasaan.
Misalnya, terjadi kebuntuan politik antara lembaga kepresidenan (pemerintah/eksekutif) dengan DPR (legislatif). Atau terjadi kebuntuan politik antara pemerintah dan DPR (eksekutif dan legislatif) dengan lembaga Mahkamah Konstitusi (yudikatif).
Atau terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan MK, padahal sesuai asas peradilan yang berlaku universal, yaitu hakim tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri, maka MK tidak dapat menjadi pihak yang berperkara dalam sengketa lembaga negara.
Baca Juga:
“Menurut saya, TAP MPR merupakan salah satu solusi manakala terjadi kebuntuan konstitusi dan kedaruratan atau kegentingan yang memaksa, seperti halnya Presiden yang memiliki kewenangan PERPPU manakala terjadi kedaruratan atau kegentingan yang memaksa," ujar Bamsoet dalam Diskusi Empat Pilar 'PPHN Tanpa Amandemen' di Media Center Komplek Parlemen, Jakarta, Rabu, 29 Maret 2023.
Bamsoet juga mengingatkan tentang kekhawatiran yang pernah disampaikan oleh Ahli Tata Negara Profesor Yusril Ihza Mahendra tentang perlunya Indonesia memikirkan tata cara pengisian jabatan publik yang pengisiannya semestinya dilakukan melalui pemilu namun suatu kedaruratan penyelenggaraannya tertunda.
“Misalnya kedaruratan disebabkan gempa bumi megathrust di selatan Pulau Jawa, kerusuhan massal, maupun karena pandemi global yang terulang kembali, sehingga pemilu harus ditunda,” tutur Bamsoet.
Dikatakannya, Pasal 431 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, telah mengatur tentang penundaan Pemilu, yakni disebabkan karena terjadinya kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian dan atau seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan.
“Namun tidak ada ketentuan dalam konstitusi maupun dalam perundangan mana pun tentang tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan karena penundaan Pemilu,” katanya.
Tidak adanya ketentuan hukum tentang tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan karena penundaan pemilu, lanjutnya, menjadi salah satu yang terlewatkan pada saat melakukan amendemen konstitusi yang dimulai pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.
Padahal kata Bamsoet, bisa saja suatu saat nanti bangsa Indonesia menghadapi kondisi force majeure yang luar biasa sehingga menyebabkan pemilu tidak dapat dilaksanakan, termasuk kita juga tidak pernah membayangkan jika suatu ketika capres/cawapres hanya calon tunggal yang terpaksa berhadapan dengan kotak kosong dan harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 6A Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan bahwa : Pasangan Capres dan Cawapres yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pemilu dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Pembicara berikutnya, Wakil Ketua DPR RI 2014-2019 Fahri Hamzah, sependapat MPR perlu kembali diberikan kewenangan politik dari sekedar kewenangan seremonial seperti yang dimiliki sekarang. Mengaktivasi kembali tools yang dimiliki oleh MPR berupa Ketetapan MPR sangat penting. Hal tersebut akan sangat efektif mengurai problem konstitusional dan ketatanegaraan.
"Ada banyak contoh kebuntuan yang dapat terjadi dalam pelaksanaan Konsitusi kita. Seperti pengaturan tentang anggaran pendidikan 20 persen, kemungkinan terjadinya perang, dan juga apabila presiden bersama DPR bersepakat untuk mengambil kebijakan yang dampaknya ekstrem bagi kehidupan bangsa dan negara kita. Semua ini memerlukan instrumen intervensi yang levelnya bukan pada presiden atau DPR dan DPD, juga bukan di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konsitusi. Tetapi intervensi diperlukan pada level Majelis Permusyawaratan Rakyat," tutur Fahri.
Fahri menambahkan, dalam hirarki peraturan perundangan, TAP MPR memang berada pada posisi ke dua di bawah UUD NRI 1945. Namun berdasarkan penjelasan pasal 7 UU 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundangan, yang dimaksud dengan Ketetapan MPR tersebut adalah TAP MPRS dan TAP MPR sampai tahun 2002.
"Apa artinya? Artinya MPR tidak lagi bisa membuat ketetapan MPR karena ketetapan MPR produk di atas tahun 2002 tidak masuk dalam hirarkhi peraturan perundangan. Maka penjelasan pasal 7 UU 12/2011 mutlak harus dihapus dengan revisi UU atau yudicial review. Dengan demikian berbagai kebuntuan persoalan bangsa termasuk PPHN langsung bisa ditarik ke MPR dengan ditetapkan sebagai TAP MPR," katanya.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil menilai menghadirkan PPHN tanpa amandemen sangat mungkin dilakukan. PPHN diperlukan jika memang banyak permasalahan negara disebabkan karena tidak adanya haluan negara dalam pembangunan nasional.
"Kita butuh konsistensi dan berkesinambungan dalam melanjutkan agenda pembangunan nasional. Karenanya, menghadirkan PPHN tanpa amandemen ini sesuatu yang masuk akal. Bisa saja kita lakukan tidak harus ada operasi konstitusi," pungkas Nasir. (*)