TEMPO.CO, Jakarta - Aksi mogok kerja yang rencana akan diadakan pada bulan Juli hingga Agustus 2023 mendatang dengan sekitar 5 juta buruh dari 100 ribu pabrik, tentunya menjadi kabar yang mengkhwatirkan bagi Negara.
Mogok kerja nasional ini adalah salah satu bentuk penolakan buruh terhadap Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja.
Mengutip Bisnis Tempo, dalam undang-undang ketenagakerjaan yang dimaksud dengan mogok kerja dianggap sebagai hak dasar para pekerja ataupun buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan. Mogok kerja merupakan tindakan kompak para buruh sebagai aksi protes mereka terhadap suatu kebijakan yang dinilai merugikan.
Negara memberi ruang para buruh ihwal mogok kerja nasional dan diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Dengan demikian, Partai Buruh dan organisasi serikat buruh menyerukan agar seluruh buruh menggunakan hak konstitusinya untuk menyampaikan penolakan terhadap UU Cipta Kerja.
Walaupun mogok kerja diakui sebagai hak, namun dalam merealisasi hak tersebut haruslah dilakukan dengan syarat-syarat yang ditentukan. Hal ini untuk menjamin agar kepentingan masyarakat lainnya tidak terganggu akibat pelaksanaan hak mogok tersebut.
Selain itu, dengan adanya mogok kerja ini tentunya akan memberikan dampak tidak hanya bagi perusahaan tetapi juga bagi Negara.
Melansir laman kemnaker.go.id, terdapat 5 dampak yang akan dirasakan Negara jika terjadi mogok kerja nasional. Adapun dampaknya sebagai berikut:
Pertama, kerugian materil bagi perusahaan. Mogok kerja dapat mengakibatkan kerugian materil bagi perusahaan, karena mogok kerja secara langsung menjadi sebab hilangnya jam kerja.
Kedua, menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Hilangnya jam kerja akibat pemogokan sebagaimana telah diuraikan diatas, pada gilirannya secara mikro akan menurunkan hasil produksi dan secara makro merupakan salah satu faktor yang menghambat pertumbuhan ekonomi nasioanal.
Ketiga, menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi. Frekuensi pemogokan yang tinggi dan berskala besar serta dalam waktu yang lama dapat menimbulkan ketidakstabilan ekonomi dan politik. Frekuensi mogok yang tertinggi adalah pada tahun{ahun menjelang krisis moneter 1997.
Keempat, menghambat masuknya investasi. Ketidakstabilan politik dan ekonomi yang diakibatkan oleh frekuensi mogok yang tinggi dan berskala besar serta dalam. waktu yang lama pada gilirannya dapat mengganggu iklim investasi.
Kelima, menghambat kegiatan ekspor. Tentunya akibat dari mogok kerja apalagi dalam skala nasional ini dapat mengakibatkan terhambatnya kegiatan ekspor. Itulah lima dampak buruk mogok kerja nasional yang akan dirasakan negara.
FANI RAMADHANI
Pilihan Editor: Tolak UU Cipta Kerja, Serikat Buruh Akan Mogok Kerja Hingga Lumpuhkan Aktivitas Pelabuhan Tanjung Priok
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.