TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan majelis hakim keliru menetapkan putusan penundaan pemilu 2024. Bahkan, ia menilai putusan tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap konstitusi.
Bivitri mengatakan merujuk pada Undang-undang Dasar 1945, pemilihan umum wajib dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Karena itu, UU Pemilu tidak diberi ruang sama sekali untuk menunda pemilu secara nasional.
"Memang ada di Pasal 400-an yang menyebut pemilu di daerah, sekali lagi di daerah bukan nasional, istilahnya pemilu susulan," kata Bivitri melalui keterangan video pada Sabtu, 4 Maret 2023.
Selain itu, Bivitri juga mengatakan pasal tersebut juga membatasi alasan penundaan pemilu di daerah dengan kejadian luar biasa. Misalnya, kata dia, adalah adanya bencana alam atau keadaan darurat lain yang mengharuskan pelaksanaan pemilu di daerah harus ditunda.
"Misalnya ada gempa bumi seperti di Cianjur kemarin gitu, menunda pemilu selama beberapa bulan itu boleh. Tapi tidak secara nasional," kata dia.
Bivitri juga mengatakan putusan Pengadilan Negeri tidak bisa menetapkan penundaan pemilu. Sebab, menurut dia, hal tersebut bukan ranah pengadilan negeri untuk menetapkan penundaan pemilu. "Tidak melalui putusan pengadilan, tapi melalui peraturan KPU," kata pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera tersebut.
Selain itu, Bivitri mengatakan gugatan Partai Prima atas KPU bukanlah kewenangan Pengadilan Negeri untuk mengadili. Sebab, ia menyebut gugatan Prima tersebut merupakan ranah administrasi negara, bukan perdata.
"Tapi yang aneh kalau ada unsur melawan hukum dari penguasa seharusnya dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara, tapi diterima di Pengadilan Negeri," ujar dia.
Terakhir, Bivitri menyebut dalam ranah perdata terikat dengan konsep privat. Sehingga, ia mengatakan dampak putusan dari peradilan perdata juga hanya boleh dirasakan oleh pihak penggugat dan tergugat. "Bukan untuk umum. Jadi inilah alasan mengapa putusan ini keliru," kata Bivitri.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebelumnya mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap KPU karena merasa dirugikan karena tidak lolos hasil administrasi Pemilu.
"Menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan tujuh hari,” seperti dikutip dari salinan putusan, Kamis, 2 Maret 2023.
Sementara itu, KPU akan menempuh upaya hukum banding terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut. Komisioner KPU Idham Holik menyatakan dengan tegas pihaknya menolak putusan PN Jakpus.
“KPU RI akan banding atas putusan PN tersebut. KPU tegas menolak putusan PN tersebut dan ajukan banding,” kata Idham saat dihubungi, Kamis, 2 Maret 2023.
Pilihan Editor: Tunjangan Kinerja Pegawai Pajak Didesak Dievaluasi, Staf Khusus Sri Mulyani: Terserah Presiden