TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Fajri Nursyamsi, menilai Perpu Cipta Kerja yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi harus dicabut karena tak kunjung disetujui paripurna DPR hingga penutupan sidang 16 Februari 2023. Fajri menegaskan Perpu Cipta Kerja membutuhkan persetujuan di paripurna DPR, bukan sekedar persetujuan Badan Legislasi (Baleg).
Sebab, apa yang disetujui di Baleg bisa saja dianulir di tingkat paripurna. Praktik ini sudah terjadi di berbagai produk undang-undang. Fajri mencontohkan Perpu Ormas yang diteken Jokowi pada 10 Juli 2017.
"Sudah disetujui di tingkat satu, sudah di tingkat dua, hampir tak jadi karena paripurna pakai voting, kebetulan menang," kata Fajri dalam konferensi pers, Minggu, 19 Februari 2023.
Kisah Perpu Ormas yang nyaris gagal di rapat paripurna
Saat itu, Perpu Ormas yang dibuat Jokowi langsung dibahas DPR pada masa sidang I Tahun 2017-2018 (16 Agustus - 25 Oktober 2017). Dipimpin Wakil Ketua DPR saat itu Fadli Zon, musyawarah dan mufakat hingga 2 jam forum lobi tak kunjung mengesahkan Perpu Cipta Kerja.
Akhirnya, DPR saat itu harus memutukan Perpu Ormas lewat voting dan akhirnya beleid ini bisa disahkan. "Kita telah mendapat hasil, dengan total 445 anggota, sebanyak 314 anggota menerima dan 131 menolak," kata Fadli saat itu membacakan hasil voting di Gedung DPR, Jakarta.
Tujuh fraksi setuju yaitu PDIP, PPP, PKB, Golkar, NasDem, Demokrat, dan Hanura. Sementara tiga fraksi lain menolak yaitu PKS, PAN, dan Gerindra.
"Ini menunjukkan praktik legislasi, belum tentu disahkan ketika sudah disetujui di tingkat satu," kata Fajri.
Selanjutnya, contoh lain: RUU Ormas dan RUU KUHP