TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan atau KontraS menilai pengakuan pemerintah terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak bersifat substantif. Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti menyebut pernyataan Presiden Jokowi tersebut tidak ada artinya bila tidak ada tindak lanjut yang lebih konkret.
“Pada dasarnya, rekomendasi perihal pengakuan atas adanya kejahatan kemanusiaan bukanlah hal baru. Sejak tahun 1999, Komnas HAM sudah menyampaikan rekomendasi demikian kepada pemangku jabatan presiden saat itu, bahkan tidak hanya sekedar pengakuan melainkan permintaan maaf,” kata Fatia pada Kamis 12 Januari 2023.
Pemulihannya kadang menyalahi prinsip keadilan
Fatia menambahkan hasil pemantauan KontraS seringkali menemukan model pemulihan kasus pelanggaran HAM berat justru memuat indikasi menyalahi prinsip keadilan. Selain itu, kata dia, pemerintah juga tidak jarang membuat peraturan penyelesaian HAM berat tanpa adanya standar yang universal.
“Misalnya saja dengan tidak berpihak kepada korban sebagai pemangku utama kepentingan,” ujar dia.
Selain itu, Fatia juga mengatakan sudah berulangkali pemerintah membentuk tim khusus penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Namun, dia mengatakan tidak ada satu pun tim tersebut yang berhasil secara konkret mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM berat hingga tuntas.
“Komite Rekonsiliasi dan Komite Pengungkapan Kebenaran pada tahun 2015, Dewan Kerukunan Nasional pada tahun 2016 hingga Tim Gabungan Terpadu Tentang Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu pada tahun 2018 yang terbukti gagal untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat secara akuntabel dan justru hanya memperalat korban untuk melegitimasi formalitas “penyelesaian” di permukaan saja tanpa sungguh-sungguh mempedulikan substansi penyelesaian kasus masa lalu,” ujar dia.
Pada Rabu 11 Januari 2023, Presiden Jokowi menerima laporan dan rekomendasi dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran (TPP) HAM Berat Masa Lalu. Setelah menerima laporan tersebut, Prsiden Jokowi mengakui adanya 12 kasus pelanggaran HAM berat yang telah lama terjadi.
“Saya telah membaca dengan seksama laporan dari (tim) PPHAM pelanggaran HAM berat yang dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 17 Tahun 2022,” kata Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta.
Adapun kasus-kasus tersebut adalah Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan misterius pada 1982-1985, Peristiwa Talangsari di Lampung pada 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh pada 1989, Peristiwa Penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998. Lalu ada kasus Kerusuhan Mei 1998, tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II pada 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan dukun santet pada 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA di Aceh pada 1999, Peristiwa Wasior di Papua pada 2001-2002, Peristiwa Wamena Papua pada 2003 dan Peristiwa Jambo Keupok di Aceh pada 2003.
Baca: Kilas Balik 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat yang Diakui dan Disesalkan Jokowi