TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Andalas, Elwi Danil mengungkapkan alat pendeteksi kebohongan atau lie detector tidak bisa menjadi alat bukti dalam persidangan. Hal tersebut dikarenakan hingga saat ini alat tersebut masih diperdebatkan.
Hal tersebut diungkapkannya saat menjadi saksi meringankan pada persidangan dengan terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa 27 Desember 2022.
"Ini suatu aspek yang masih perlu diperdebatkan lebih lanjut. Apakah hasil poligraf itu merupakan alat bukti atau barang bukti," kata Elwi dalam persidangan.
Mulanya, tim penasihat hukum Putri Candrawathi, Rasamala Aritonang menanyakan kepada Elwi soal pentingnya unsur psikologi dalam mendorong pertimbangan hakim untuk memutus perkara. Hal tersebut ditanyakan setelah Elwi menjelaskan perbedaan perkara 338 dan 340 KUHP.
“Motif ini mempengaruhi bagaimana kita keadaan jiwa karena 340 bicara keadaan tenang, sikap kejiwaan. Betul bahwa 138 KUHP hakim melakukan penilaian apakah bersalah atau tidak, tetapi dalam mendukung keyakinan tersebut apakah perlu dibantu dengan pengetahuan psikologis? Karena ini berkaitan dengan sikap batin, perilaku, emosional si pelaku?” tanya Rasamala.
Elwi mengatakan untuk memberikan penilaian kepada seseorang apakah dia dalam keadaan tenang atau tidak tentu yang bisa menjelaskan adalah ahli psikologi forensik.
“Hakim seharusnya bisa memahami aspek psikologi. Di negara yang sistem pidananya maju seperti di Amerika, hakimnya belajar psikologi dia tahu apakah orang ini berbohong atau tidak,” imbuhnya.
Pengetahuan soal psikologi ini pun menurut Elwi sangat penting untuk hakim mengonfirmasi bukti. Bahkan Elwi turut menyinggung sistem peradilan di Indonesia yang kurang mempelajari psikologi.
“Artinya untuk membantu mengonfirmasi dengan alat canggih hari ini, lie detector itu saya kira hakim juga memahami aspek psikologi itu. Dalam sistem pidana kita saya tidak tahu apakah hakim belajar psikologi atau tidak tapi paling tidak dalam hal-hal suasana kejiwaan seperti itu hakim membutuhkan pengetahuan dari psikolog,” ucap Elwi.
Rasamala pun lalu menanyakan soal Peraturan Kapolri (Perkap) 10 tahun 2009. Di mana dalam Perkap ini menjelaskan mengenai persyaratan pemeriksaan pada proses pemeriksaan termasuk penggunaan poligraf.
“Dalam salah satu poinnya di nomor 13, tes poligraf itu harus dilakukan terhadap terperiksa dalam keadaan bebas tidak terpaksa kemudian harus ada pemeriksaan medis juga laporan psikologisnya baru bisa dilakukan tes. Apabila proses itu tidak ditaati sesuai peraturan Kapolri Nomor 10 tahun 2009 apakah kemudian hasil poligraf bisa digunakan sebagai bukti yang sah dalam peradilan?” tanya Rasamala.
Elwi menjelaskan bahwa tes poligraf masih perlu diperdebatkan soal apakah hasil poligraf itu barang bukti atau alat bukti.
“Tapi meskipun demikian, proses penemuan atau proses mendapatkan hasil tes poligraf itu tentu ada peraturan yang harus diacu, ada SOP yang harus diacu seperti yang tadi saudara penasihat hukum menyebut ada Perkap Kapolri yang mengatur dengan cara bagaimana orang diperiksa,” kata Elwi.
Elwi pun menjelaskan jika hasil tersebut didapat dengan cara yang bertentangan dengan aturan hukum, maka hasilnya tidak bisa diterima sebagai bukti. Ia pun lalu menjelaskan sebuah teori di Amerika tahun 1920an.
“Saya teringat sebuah teori, yang ditemukan sejak 1920-an, dalam perkara pidana di Amerika. Teori buah dari pohon yang beracun. Kalau pohonnya beracun apa pun yang dihasilkan pohon yang beracun itu pasti akan beracun juga,” ujarnya.
Elwi menyebut jika tes poligraf itu ditempuh dengan cara yang salah maka tes poligraf harus dikesampingkan.
“Sehingga demikian kalau kita kaitkan dengan proses penemuan alat bukti, kalau seandainya proses penemuan alat bukti itu tidak benar maka alat bukti itu juga menjadi sesuatu yang tidak benar,” kata Elwi.
“Konsekuensinya apa Prof kalau itu kemudian menjadi alat bukti yang tidak benar? Apakah bisa digunakan atau harus dikesampingkan dari pertimbangan?” tanya Rasamala lagi.
“Kalau itu disimpulkan tidak benar karena cara memperolehnya bertentangan dengan aturan kalau itu diposisikan sebagai bukti tentu dia tidak bisa diterima sebagai alat bukti yang sah harus dikesampingkan,” jawab Elwi.
Baca: Sidang Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, Saksi Ahli Jelaskan Perbedaan Pasal 338 dan 340 KUHP