TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS bersama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Marimoi mendesak Kepolisian Daerah Maluku Utara mengusut secara transparan dugaan tindakan penyiksaan terhadap seorang mahasiswa oleh anggota Polres Halmahera Utara.
Mahasiswa atas nama Yulius Yatu alias Ongen diduga disiksa oleh empat aparat Polres Halmahera Utara pada 20 September 2022. Berdasarkan keterangan KontraS, peristiwa ini bermula setelah korban mengkritik kinerja aparat penegak hukum dalam melakukan proses pengamanan aksi massa terkait kenaikan harga BBM melalui status whatsapp korban.
Selang sehari kemudian, empat orang tidak dikenal datang mencari korban di kediamannya sekitar pukul 21.00 WIT. Keempat orang tadi bertanya mengenai identitas sebuah foto kepada korban. Kemudian para pelaku tiba-tiba memukul tepat di bagian wajah, korban dicekik, dan dibawa keluar dari rumah menuju jalan umum.
“Ketika korban diseret, pelaku tetap memukuli korban hingga menyebabkan luka lebam di bawah mata, bibir bagian bawah pecah, dan kembali dicekik hingga korban jatuh pingsan,” kata staf Divisi Hukum KontraS Abimanyu Septiadji dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 6 Oktober 2022.
Menurut dia, kekerasan berlanjut di lingkungan Polres Halmahera Utara. Ongen akhirnya memohon agar berhenti dipukuli. “Pada saat korban sudah tidak kuat lagi, kemudian ia dipaksa untuk push up,” ujar Abimanyu.
Setelah berlakukan dengan keji selama kurang lebih dua jam, korban diantar pulang menuju rumahnya oleh salah satu pelaku.
KontraS menemukan indikasi dugaan tindakan penyiksaan dan perbuatan keji yang dilakukan oleh aparat penegak hukum Polres Halmahera Utara. Dalam pasal 33 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang pada intinya telah menjamin setiap orang berhak untuk bebas dari tindakan penyiksaan.
Lebih lanjut, larangan tindakan penyiksaan oleh anggota Polri juga telah diatur dengan jelas dalam peraturan internal kepolisian dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Pasal 11 ayat (1) huruf b yang menyatakan bahwa “Setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan: penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan”.
Oleh karena itu, KontraS mendesak agar para pelaku dapat diproses dan mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan ditempuh melalui mekanisme peradilan pidana.
KontraS menilai pasal yang tepat untuk disangkakan berdasarkan temuan fakta-fakta hukum di atas adalah Pasal 353 Ayat (1) juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP yang pada intinya menyatakan bahwa “Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
KontraS dan LBH mengatakan korban telah mengajukan laporan pidana berdasarkan Surat Tanda Penerimaan Laporan Nomor: STPL/89/IX/2022/SPKT kepada Polda Maluku Utara.
“Kami mendesak Kapolri untuk mencopot Kapolres Halmahera Utara, karena telah membiarkan peristiwa keji ini terjadi oleh anggotanya,” kata KontraS dan LBH dalam pernyataan bersama.
Sebelummya, Kasubdit l Ditreskrimum Polda Maluku Utara, Komisaris Polisi M Arinta Fauzi menyatakan, instansi itu melalui Propam berjanji memproses kasus dugaan penganiayaan ini naik ke tahap penyidikan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
"Beri kami waktu tiga pekan, kami akan selesaikan kasus ini, semua sama di mata hukum jadi tidak ada yang ditutup-tutupi. Saya mohon semua pihak bersabar karena ada prosedurnya dalam penanganan untuk membuat terang suatu tindak pidana ini," kata dia seperti dikutip Antara pada Senin, 3 Oktober 2022.
Baca juga: KontraS Sebut TIm PPHAM Hanya Gimmick Pemerintah