TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS menilai tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu atau PPHAM hanya merupakan gimmick pemerintah.
Anggota Divisi Pemantauan Impunitas KontraS Ahmad Sajali mengatakan, adanya tim ini seakan-akan memperlihatkan bahwa negara sudah menyelesaikan pelanggaran HAM.
Sajali menjelaskan, dalam rancangan penuntasan pelanggaran Hak Asasi Manusia berat sudah diatur oleh Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000. Adanya skema itu, juga akan berimplikasi terhadap pemenuhan yang berkaitan dengan non-yudisial seperti pengungkapan kebenaran, pemulihan korban hingga evaluasi negara dan instansi.
"Kami tidak setuju dengan adanya Tim PPHAM ini. Meski ada dalih yang kerap diulang bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial tidak akan menghentikan proses penyelesaian," ujar Sajali saat dihubungi pada Selasa, 27 September 2022.
Lebih lanjut ia menuturkan, adanya skema lain yang bisa dijalankan dalam penyelesaian pelangaran HAM yaitu pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR. Di Indonesia, dulu pernah ada Undang-undang KKR, tetapi dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
"Jika belum adanya KKR lagi sampai hari ini jadi alasan pemerintah, semestinya bisa saja dengan mudah mendudukkan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung di bawah koordinasi Kemenkopolhukam, untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM untuk segera menyeret pelaku ke pengadilan HAM," kata dia.
Sebelumnya, Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di masa lalu telah memulai rapat perdana di Surabaya, Jawa Timur pada Ahad, 25 September 2022.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan atau Menkopolhukan Mahfud Md mengatakan, tim ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi yang Berat Masa Lalu.
"Nama timnya PPHAM. Bertugas menyelesaikan secara nonyudisial pelanggaran HAM berat di masa lalu sebagai perwujudan tanggung jawab moral, politik kebangsaan, guna mengakhiri luka bangsa demi terciptanya kerukunan berbangsa dan bernegara," kata Mahfud MD kepada wartawan usai memimpin rapat perdana tersebut.
Menurut dia, latar belakang dibentuknya tim ini karena Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM mengalami kesulitan memproses perkara-perkaranya melalui mekanisme yudisial.
Mahfud mengatakan, lembaga yang memiliki wewenang menentukan pelanggaran HAM berat hanya Komnas HAM, yaitu melalui proses penyelidikan dan keputusan sidang pleno.
"Komnas HAM menyatakan saat ini tersisa 13 pelanggaran HAM berat. Sebanyak sembilan kasus terjadi sebelum dibuat UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Selain itu, empat kasus terjadi setelah keluarnya UU Nomor 26 Tahun 2000," ujar dia.
Muh Raihan Muzakki