TEMPO.CO, Malang - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontrasS) Surabaya meragukan data korban jiwa Tragedi Kanjuruhan yang dirilis oleh aparat kepolisian. Ketua Badan Pengurus KontraS Surabaya Andy Irfan Junaedi menyatakan mereka menemukan banyak korban meninggal yang tak tercatat.
“Kami buka pos pengaduan. Ada laporan Aremania luar kota banyak yang tak terdata,” kata Andy yang turun langsung ke Malang, Senin, 3 Oktober 2022.
Andy menilai data korban 125 orang yang dirilis kepolisian tidak valid. Dia pun melihat ada upaya polisi membela diri dan menutupi jumlah korban sebenarnya.
Komnas HAM dan LPSK diminta verifikasi data korban
Ia menuntut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk membentuk tim verifikasi data korban. Andy juga menuntut dibentuk tim independen yang melibatkan Aremania.
“Tidak ada keadilan tanpa mendengarkan suara korban,” kata dia. "Mari duduk bersama untuk menguji kebenaran."
Aremania sebut korban mencapai sekitar 200 orang
Dadang Indarto, salah seorang Aremania, menuturkan berdasarkan pendataan mereka jumlah korban di perkiraan sekitar 200-an.
“Laporan suporter dari Korwil 200,” kata dia.
Dia menyatakan banyak korban jiwa yang tak terdata, terutama yang berasal dari luar kota. Dalam pertandingan Arema FC vs Persebaya Surabaya Sabtu lalu, 1 Oktober 2022, menurut dia banyak Aremania dari berbagai daerah seperti Banyuwangi, Madiun, Pasuruan, Blitar dan Kediri yang langsung membawa pulang rekannya yang tewas.
“Rata-rata Aremania luar kota tak mau dibawa ke rumah sakit. Jenazah diangkut kendaraan dibawa pulang. Ada juga yang meninggal di perjalanan,” katanya.
Data korban versi polisi
Sebelumnya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan bahwa korban jika akibat Tragedi Kanjuruhan berjumlah 125 orang. Dia mengoreksi data yang menyebutkan data korban mencapai 129 orang. Menurut Listyo, ada data ganda yang membuat jumlah korban membengkak.
Tragedi Kanjuruhan terjadi pasca laga BRI Liga 1 antara Arema FC vs Persebaya Surabaya berakhir dengan skor 2-3. Aremania yang tak puas dengan hasil itu masuk ke lapangan dan terlibat kericuhan dengan aparat kepolisian.
Polisi lantas melepaskan tembakan gas air mata ke arah tribun untuk membubarkan massa. Suporter yang panik lantas berdesakan keluar sehingga mengalami sesak nafas dan kekurangan oksigen.
Penggunaan gas air mata oleh kepolisian itu menjadi permasalahan karena melanggar aturan keselamatan FIFA. Dalam aturannya, FIFA melarang aparat untuk membawa dan menggunakan senjata api maupun gas air mata di dalam stadion. Akibat masalah ini, Kapolri mencopot Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat dan 9 komandan Brimob Polda Jawa Timur. Sebanyak 28 anggota polisi pun menghadapi pemeriksaan kode etik.