Amir Biki segera merespons permintaan jemaah itu dengan mendatangi Kodim untuk menyampaikan tuntutan agar melepaskan 4 orang yang ditahan. Namun, ia tidak memperoleh jawaban yang pasti, bahkan terkesan dipermainkan oleh petugas-petugas di Kodim itu.
Merasa dipermainkan, Amir Biki kemudian menggagas pertemuan pada malam harinya untuk membahas persoalan serius ini. Para ulama dan tokoh-tokoh agama dimohon datang, undangan juga disebarkan kepada umat Islam se-Jakarta dan sekitarnya. Forum umat Islam itu dimulai pada pukul 8 malam dan berlangsung selama kurang lebih 3 jam.
Amir Biki sebenarnya bukan seorang penceramah. Namun, oleh jemaah yang hadir, ia didesak untuk menyampaikan pidato dalam forum tersebut. Amir Biki pun naik ke mimbar dan berujar: “Kita meminta teman-teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya!” kata dia.
“Kita tidak boleh merusak apapun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita,” lanjut Amir Biki mengingatkan para jemaah, seperti dituturkan Abdul Qadir Djaelani dalam persidangan.
Lantaran permohonan pembebasan 4 tahanan itu tetap tidak digubris hingga menjelang pergantian hari, maka paginya, 12 September 1984, sekitar 1.500 orang bergerak, sebagian menuju Polres Tanjung Priok, yang lainnya ke arah Kodim yang berjarak tidak terlalu jauh, hanya sekira 200 meter.
Peringatan aparat dibalas takbir oleh massa yang terus merangsek. Para tentara langsung menyambutnya dengan rentetan tembakan dari senapan otomatis. Korban mulai bergelimpangan. Ribuan orang panik dan berlarian di tengah hujan peluru.
Aparat terus saja memberondong massa dengan membabi-buta. Bahkan, seorang saksi mata mendengar umpatan dari salah seorang tentara yang kehabisan amunisi. “Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!”. Dari arah pelabuhan, dua truk besar yang mengangkut pasukan tambahan datang.
Tak hanya memuntahkan peluru, dua kendaraan berat itu juga menerjang dan melindas massa yang sedang bertiarap di jalanan.
Kejadian serupa dialami rombongan pimpinan Amir Biki yang menuju Kodim. Aparat meminta 3 orang perwakilan untuk maju, sementara yang lain harus menunggu. Ketika 3 perwakilan massa itu mendekat, tentara justru menyongsong mereka dengan tembakan yang memicu kepanikan massa. Puluhan orang tewas dalam fragmen ini, termasuk Amir Biki.
Tidak diketahui secara pasti berapa korban, baik yang tewas, luka-luka, maupun hilang, dalam tragedi di Tanjung Priok karena pemerintah Orde Baru menutupi fakta yang sebenarnya. Panglima ABRI saat itu, L.B. Moerdani, mengatakan bahwa 18 orang tewas dan 53 orang luka-luka dalam insiden tersebut.
Namun, pernyataan Panglima ABRI tersebut sangat berbeda dengan data dari Solidaritas untuk Peristiwa Tanjung Priok (Sontak) yang juga didukung oleh kesaksian Djaelani. Lembaga ini menyebut bahwa tidak kurang dari 400 orang tewas dalam tragedi berdarah itu, belum termasuk yang luka dan hilang.
Presiden Soeharto, tampaknya tidak pernah menyesalkan terjadinya peristiwa Tanjung Priok 1984 itu.
Dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya yang terbit 4 tahun setelah insiden memilukan tersebut, sang penguasa berucap “Peristiwa Tanjung Priok adalah hasil hasutan sejumlah pemimpin di sana. Melaksanakan keyakinan dan syariat agama tentu saja boleh. Tetapi kenyataannya ia mengacau dan menghasut rakyat untuk memberontak, menuntut dikeluarkannya orang yang ditahan. Terhadap yang melanggar hukum, ya tentunya harus diambil tindakan.”
IDRIS BOUFAKAR
Baca juga : Polisi Tangkap FS Muncikari Prostitusi Online di Jakarta Utara