TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM batal memeriksa tim Laboratorium Forensik (Labfor) Polri terkait uji balistik. Penundaan ini atas dasar permintaan tim khusus Polri untuk kasus penembakan Brigadir J. Uji balistik merupakan salah satu hal penting untuk menyelidiki kematian Brigadir J. Lalu, apa itu uji balistik?
Menurut National Institute of Standards and Technology (NIST) Kementerian Perdagangan Amerika Serikat, uji balistik atau disebut juga balistik forensik merupakan pemeriksaan yang melibatkan bukti senjata api yang mungkin telah digunakan dalam kejahatan. Adapun yang diperiksa dalam uji balistik adalah kekuatan gerak dan dampak yang disebabkan tembakan proyektil. Saat peluru ditembakkan dari pistol, pistol meninggalkan bekas mikroskopis pada peluru dan kotak peluru. Tanda ini seperti sidik jari balistik.
Bila penyelidik menemukan peluru dari tempat kejadian perkara atau TKP, pemeriksa forensik dapat menguji tembak senjata tersangka. Kemudian membandingkan tanda pada peluru TKP dengan tanda pada peluru yang ditembakkan. Pemeriksa kemudian akan menilai seberapa mirip dua set tanda dan menentukan apakah peluru kemungkinan ditembakkan dari senjata yang sama atau senjata yang berbeda.
Penemuan metode uji balistik dengan “mencocokkan” antara peluru dengan kotak peluru ini dilakukan sebagai dampak langsung dari penemuan senjata api pada abad ke-16. Ahli balistik forensik membandingkan peluru dan kotak peluru dengan memeriksanya secara visual di bawah mikroskop. Setelah membandingkan peluru, pemeriksa dapat menawarkan pendapat ahli apakah kedua objek cocok. Namun metode ini memiliki kelemahan, yaitu tidak dapat mengungkapkan kekuatan bukti secara numerik.
James Hamby dalam publikasi di Association of Firearm and Tool Mark Examiners Journal mengungkapkan, kasus pertama yang berhasil didokumentasikan dari pemeriksaan senjata api forensik terjadi pada 1835. Seorang anggota Bow Street Runners di London mencocokkan peluru yang ditemukan dari korban pembunuhan dengan kotak peluru tersangka. Hal ini memberikan bukti lebih lanjut bahwa tersangka adalah pelaku pembunuhan itu.
Uji balistik pernah menyelamatkan nyawa seseorang dari hukuman mati. Edwin Borchard dalam buku “Stielow and Green” mengungkapkan, pada 1915, Charles Stielow dijatuhi hukuman mati atas kasus kematian tetangganya. Stielow kemudian mengajukan banding ke Gubernur New York saat itu Charles S. Whitman. Whitman lantas menghentikan eksekusi sampai penyelidikan dapat dilakukan. Setelah pemeriksaan lebih lanjut, terbukti bahwa senjata api Stielow tidak dapat menembakkan peluru yang ditemukan pada korban.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca juga: Kasus Brigadir J, Komnas HAM Panggil Puslabfor Polri Soal Uji Balistik