TEMPO.CO, Jakarta - Polda Metro Jaya menelusuri dan memburu admin akun Twitter @Opposite6890. Langkah ini menindaklanjuti penangkapan AH pemilik akun SnackVideo @rakyatjelata_98, AH, yang diduga menyebarkan ujaran kebencian terhadap Polri.
Lalu apa itu ujaran kebencian menurut undang-undang, serta apa sanksi-sanksi?
Peneliti di Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Lidya Suryani Widayati mengungkapkan ujaran kebencian merupakan konsep yang sangat rentan berhadap-hadapan dengan hak berpendapat dan berekspresi. Untuk itu perlu batasan yang jelas terkait tindakan yang dapat digolongkan sebagai ujaran kebencian. “Diupayakan tak melanggar hak asasi lainnya,” tulis Lidya dalam publikasi yang diunggah di laman berkas.dpr.go.id.
Adapun yang dimaksud dengan ujaran kebencian yaitu informasi yang ditujukan untuk menimbulkan perasaan benci atau menyebabkan permusuhan individu atau masyarakat. Dari segi perbuatan, ujaran kebencian merupakan perkataan, baik lisan maupun tertulis, yang di dalamnya mencakup penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, provokasi, perbuatan tidak menyenangkan, fitnah, serta penyebaran berita bohong.
Tindak pidana ujaran kebencian diatur dalam Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Tujuan pasal tersebut adalah mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada suku, agama, ras, dan antar golongan atau SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif. Dalam kehidupan bermasyarakat, isu SARA merupakan isu yang cukup sensitif.
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA),” bunyi pasal tersebut.
Undang-Undang Internasional juga mengatur terkait ujaran kebencian. Beberapa di antaranya yaitu Deklarasi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB 1948, Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial atau Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination (CERD), dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Menurut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana, Indriyanto Seno Adji, untuk menghentikan ujaran kebencian dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama, pengembangan budaya toleransi sebagai pencegahan. Kedua, melalui pendekatan represif dengan penegakan hukum. Namun, menurutnya, penting untuk memahami perbedaan antara kebebasan berbicara atau freedom of speech dengan ujaran kebencian atau hate speech. Pemahaman kedua perbedaan istilah ini dapat mencegah ketidakpastian hukum dan multitafsir.
“Sehingga tidak menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan ekspresi,” tulis Indriyanto, seperti dikutip Lidya dalam publikasinya.
Dalam percakapan sehari-hari, secara sadar atau tidak, masyarakat mungkin mengucapkan kata-kata yang mengandung kebencian. Namun, pada dasarnya ujaran kebencian berbeda dengan ujaran-ujaran pada umumnya. Perbedaan ini terletak pada niat dari suatu ujaran tersebut. Ujaran kebencian memang dimaksudkan untuk menimbulkan dampak, baik secara langsung maupun tidak. Sementara kata-kata yang mengandung kebencian yang diucapkan dalam percakapan sehari-hari, dengan tanpa niat tertentu, hanya sebagai bentuk ekspresi diri.
Denda dan Sanksi Ujaran Kebencian
Menurut UU Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang UU ITE pelaku ujaran kebencian diancam pidana. Pidana dapat diterapkan apabila setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28 ayat 1 jo Pasal 45 UU tersebut. Tindak pidana ini dirumuskan secara materiil. Artinya, tindak pidana tersebut selesai sempurna bila akibat perbuatan telah timbul, yaitu adanya kerugian dari pihak yang bersangkutan.
Adapun hukum pidana yang dimaksud, sebagaimana disebutkan dalam ayat 2 yaitu penjara maksimal 6 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah),” bunyi pasal tersebut.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca: Polisi Kejar Admin Twitter Opposite6890 di Kasus Ujaran Kebencian Terhadap Polri
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.