TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah tetap mempertahankan pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP. Namun dalam draf final RKUHP yang diterima Tempo, ada sejumlah pasal penjelasan yang mengatur soal kritik yang tidak termasuk dalam kategori penghinaan terhadap presiden.
Secara umum, Pasal 218 ayat (1) RKUHP mengatur setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana penjara paling lama 3,5 tahun atau pidana denda.
Selanjutnya, Pasal 218 ayat (2) menyebut, tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Dalam bab penjelasan kemudian diatur, yang dimaksud dengan "dilakukan untuk kepentingan umum" dalam Pasal 218 ayat (2) adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijkan presiden dan wakil presiden.
Hal-hal yang termasuk kritik yang tidak bisa dipidana dalam RKUHP tersebut yakni; menyampaikan pendapat terhadap kebijakan presiden dan wakil presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk kebijakan tersebut; kritik bersifat konstruktif dan sedapatnya mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan/atau dilakukan dengan cara yang objektif.
Selanjutnya, kritik mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan kebijakan, atau tindakan presiden dan wakil presiden lainnya. Lalu, kritik juga dapat berupa membuka kesalahan atau kekurangan yang terlihat pada presiden dan wakil presiden atau menganjurkan pergantian presiden dan wakil presiden dengan cara yang konstitusional; serta kritik yang tidak dilakukan dengan niat jahat untuk merendahkan atau menyerang harkat dan martabat dan/atau menyinggung karakter atau kehidupan pribadi presiden dan wakil presiden.
Selanjutnya dalam Pasal 219 diatur, setiap orang yang mempublikasikan terkait penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden melalui sarana teknologi informasi sehingga diketahui oleh umum akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4,5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Dalam ketentuan berikutnya, yakni Pasal 220 diatur: tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. "Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden".
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) sebelumnya mengkritik pasal penghinaan presiden tersebut sangat kolonial. Perubahan delik penghinaan presiden menjadi delik aduan pada RKUHP dinilai tidak menghilangkan masalah utama pada pasal anti-demokrasi itu. Menurut PSHK, praktik-praktik tersebut sudah tidak berlaku di negara-negara demokratis.
"Sebagian besar negara demokratis yang hari ini masih mempertahankan delik penghinaan terhadap figur kekuasaan adalah negara bersistem monarki, dan itu pun umumnya hanya dikategorikan sebagai tindak pidana ringan. Kebijakan menghapuskan pasal penghinaan terhadap kepala negara telah dilakukan di banyak negara, seperti Prancis pada 2013 dan Jerman pada 2017," demikian keterangan resmi PSHK, beberapa waktu lalu.
Baca juga: Aliansi Reformasi KUHP Tolak RKUHP jika Pasal-pasal Kolonial Dipertahankan
DEWI NURITA