TEMPO.CO, Jakarta - Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang baru disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI kemarin dinilai mengandung muatan progresif. Di antaranya mengatur restitusi yang sebelumnya merupakan pidana tambahan menjadi pidana pokok.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Istania DF Iskandar mengatakan pengaturan mengenai restitusi dalam UU TPKS tetap mengedepankan tanggung jawab pelaku, mulai dari menuntut pembayaran oleh pelaku, pembebanan pihak ketiga, sita harta kekayaan pelaku, hingga hukuman tambahan jika pelaku tidak mampu membayar atau tidak adanya pihak ketiga.
“Dalam UU itu, ada tanggung jawab negara apabila pelaku tidak mampu membayar restitusi. Sedangkan dalam hal terpidana merupakan korporasi, dilakukan penutupan sebagian tempat usaha dan atau kegiatan usaha korporasi paling lama 1 (satu) tahun,”ujar Livia lewat keterangan tertulis, Selasa, 12 April 2022.
Restitusi atau ganti rugi merupakan salah satu hak yang didapatkan korban kekerasan seksual. Uang restitusi didapat oleh korban dari pelaku atas keputusan pengadilan. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 30 UU TPKS. "Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan," demikian bunyi Ayat 1 pasal tersebut.
Restitusi tersebut berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; ganti kerugian yang timbul akibat penderitaan korban; pengganti biaya perawatan medis korban; dan ganti kerugian lain yang diderita korban kekerasan seksual.
Kemudian, Pasal 31 mengatur, restitusi bisa diambil dari harta kekayaan pelaku yang disita oleh penyidik atas izin pengadilan negeri setempat "Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan hak pihak ketiga yang beritikad baik," demikian bunyi Pasal 31 ayat (4).
UU TPKS mengatur restitusi harus diberikan dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak putusan pengadilan. Sementara, jika harga kekayaan pelaku tidak mencukupi untuk membayar restitusi, terpidana atau pelaku dikenai pidana pengganti tak lebih dari pidana pokok. Negara juga berhak memberikan kompensasi kepada korban dalam kondisi tersebut.
Pasal 35 ayat (2) menyebutkan, kompensasi yang dimaksud dibayarkan melalui dana bantuan korban yang bisa berasal dari sejumlah sumber. Beberapa misalnya, filantropi, masyarakat, individu, hingga perusahaan.
Ketua Panja RUU TPKS, Willy Aditya mengatakan, usai resmi disahkan menjadi UU, pemerintah diberi mandat untuk membentuk lembaga baru guna menangani secara khusus mekanisme pemberian restitusi kepada korban kekerasan seksual.
"Maka kemudian ada lembaga baru yang nanti mereka buat, yaitu lembaga bantuan dana korban di mana setiap restitusi atau pidana denda dibayarkan pelaku itu dikelola oleh lembaga ini," kata Willy.
DEWI NURITA