TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga survei Indikator Politik Indonesia merilis hasil sigi terbaru perihal perkembangan demokrasi di Indonesia. Salah satu temuannya yaitu soal kepercayaan pada institusi negara, di mana partai politik masih menjadi institusi paling tidak dipercaya di Indonesia.
"Ini bukan temuan baru, juga terjadi beberapa tahun terakhir," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, dalam rilis Survei Nasional tentang Trust terhadap Institusi Politik, Isu-isu Mutakhir, dan Dinamika Elektoral Jelang Pemilu Serentak 2024 secara virtual, Minggu, 3 April 2022.
Dalam survei ini, hanya 6 persen saja responden yang menyatakan sangat percaya dengan partai politik. Lalu 38 persen percaya. Sisanya responden menyebut sedikit percaya dan tidak percaya sama sekali.
Kondisi ini terjadi bertahun-tahun ini, kata Burhanuddin, harusnya menjadi introspeksi bagi partai politik. "Ada ekspektasi tinggi, tapi tak bisa dijalankan elit partai," kata dia.
Dalam catatan Tempo, rendahnya kepercayaan pada partai politik selalu terjadi dalam berbagai survei dalam beberapa tahun terakhir. Sebelumnya pada Februari 2021, hasil sigi Lembaga Survei Indonesia (LSI) juga menempatkan partai politik diurutan paling rendah yang dipercaya publik.
Sebaliknya, Indikator mencatat institusi dengan kepercayaan paling tinggi yaitu TNI. Sebanyak 26 persen sangat percaya dengan TNI dan 67 persen cukup percaya.
Sebenarnya, kata Burhanuddin, di awal-awal masa reformasi kepercayaan pada TNI masih rendah karena masih dikaitkan dengan Orde Baru. Indikator punya catat sejak 2010 lalu, dan menemukan kepercayaan publik pada TNI kian meningkat.
Menurut Burhanuddin, tingginya kepercayaan ini memberi indikasi kalau publik menilai TNI yang sekarang beda dengan yang sebelumnya. Ia berpandangan salah satu penyebabnya adalah karena TNI semakin menarik jarak dengan politik praktis.
Secara umum, kepercayaan pada institusi negara hanya satu dari tiga kriteria yang digunakan Indikator dalam mengukur kualitas demokrasi di Indonesia. Kriteria lainnya yaitu preferensi publik pada sistem demokrasi.
Hasil survei menemukan sebanyak 77,2 persen responden masih percaya kalau demokrasi adalah sistem yang terbaik untuk penyelenggaraan pemerintahan. Artinya, kata Burhanuddin, demokrasi pasca reformasi sudah benar-benar diterima publik walau ada kekurangan.
"Ini yang menjelaskan mengapa publik, dalam kasus penundaan (Pemilu 2024) bereaksi keras. Karena mereka rasa ini sudah jadi bagian dari kehidupan mereka," kata dia.
Lalu kriteria terakhir yaitu kinerja institusi negara. Survei ini juga menemukan kalau kinerja dipengaruhi oleh pengetahuan publik terhadap apa yang sedang dikerjakan oleh institusi tersebut.
Burhanuddin mencontohkan hasil survei terhadap kasus korupsi ASABRI yang ditangani oleh Kejaksaan Agung. Hasilnya, 85,2 persen dari responden yang mengetahui kalau Kejaksaan Agung sedang menyelidiki kasus ini.
Kondisi ini dinilai mempengaruhi kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Agung. Hanya 10 persen yang sangat percaya dan 64 persen yang percaya. "Karena dalam demokrasi institusi tak bisa hanya menjalankan fungsi teknokratis, tapi juga sosialisasi," kata dia.
Survei ini dilakukan secara tatap muka terhadap 1.200 responden dengan jumlah proporsional di setiap provinsi. Sampel diambil berdasarkan jumlah masyarakat yang punya hak pilih di setiap provinsi. Metode survei yaitu stratified multi-stage random sampling dengan margin of error kurang lebih 2,9 persen.