TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS Fatia Maulidiyanti menilai pemerintah tetap membawa kultur rezim Orde Baru meskipun indeks demokrasi terbaru meningkat. The Economist Intelligence Unit menempatkan Indeks Demokrasi Indonesia di posisi 6,71. Angka itu naik dari indeks pada 2020 yang hanya 6,30.
Indeks demokrasi ini didasari lima kategori dengan pemilihan umum dan pluralisme meraih nilai tertinggi, yaitu 7,92. Namun Fatia menganggap indeks demokrasi di Indonesia dari tahun ke tahun malah selalu turun. Dia tidak menyebut rezim saat ini mengarah ke sistem otoriter, namun penyebabnya lebih pada masih bersemayamnya kultur Orde Baru.
"Bahwa sampai hari ini Indonesia memang tidak pernah lepas dari kultur-kuktur Orde Baru. Jadi kultur kekerasannya, kemudian pola keberulangannya, dan lain sebagainya itu terus ada, pelanggaran HAM-nya juga," kata dia dalam diskusi virtual IM57+ Institute, Sabtu, 26 Maret 2022.
Masih bertahannya persoalan-persoalan yang terjadi saat masa Orde Baru itu, menurut Fatia, karena Indonesia tidak pernah menyelesaikan permasalahan kemanusiaan pada masa lampau. Misalnya soal pelanggaran HAM berat.
"Jadi pada akhirnya tidak ada pembelajaran bagi negara untuk tidak lagi melalukan itu di kemudian hari, karena pola-pola tersebut atau kekerasan-kekerasan tersebut tidak pernah masuk ke ranah-ranah yang lebih adil," tutur Fatia.
Menurut dia belum ada pengadilan HAM yang benar-benar menyelesaikan masalah, di samping juga belum adanya pengungkapan fakta-fakta atau kebenaran saat pelanggaran HAM terjadi. "Jadi pada akhirnya kewenangan yang diberikan kepada aparat penegak hukum kayak polisi semakin luas dan kekerasan-kekerasan tersebut tidak pernah mendapatkan sebuah pengawasan yang cukup baik dan juga tidak ada evaluasi," kata dia.
Apalagi, kata Fatia, di kawasan Asia Tenggara sendiri kultur kekerasan yang impunitas dan dimiliki oleh aparatur negara juga masih terjadi dan seolah-olah terpelihara. Penyebabnya, kata dia, juga sama, yaitu masih dibiarkannya sejumlah pelanggaran HAM pada masa lampau dan tidak terselesaikan. "Karena punya pola yang sama, yaitu sebuah dosa-dosa negara di masa lalu yang tidak pernah diselesaikan," ucap Fatia.
Apalagi, kata dia, Asia Tenggara menyepakati prinsip non-intervensi dan konsensus bahwa jika terjadinya pelanggaran HAM di salah satu negara ASEAN, negara lain, walau pun tetangganga, tidak bisa berperan aktif membantu mengakhiri. "Itu sangat membatasi sebuah kemajuan isu HAM di regional," ujar koordinator KontraS.
Baca Juga: Jokowi Disebut Mirip Soeharto di Kasus Wadas, Ngabalin: Tuduhan Itu Tendesius