TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menyatakan label halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak akan berlaku lagi secara bertahap.
"Di waktu-waktu yang akan datang, secara bertahap label halal yang diterbitkan oleh MUI dinyatakan tidak berlaku lagi. Sertifikasi halal, sebagaimana ketentuan undang-undang diselenggarakan pemerintah, bukan lagi ormas," kata Yaqut lewat akun Instagram miliknya, @gusyaqut.
Kewenangan penerbitan sertifikasi halal bakal diambil alih oleh Kemenag dalam hal ini Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal atau BPJPH, dari sebelumnya yang sebelumnya dipegang oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI.
Yaqut menyebut penetapan label halal akan ditetapkan sesuai Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal. Aturan tersebut dibuat menindaklanjuti ketentuan Pasal 37 Undang-undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang JPH.
Jika mengulas balik, berbagai permasalahan sertifikasi halal oleh MUI pernah terkuak. Mulai dari transaksi mahal label halal hingga dugaan keterlibatan eks petinggi MUI dalam patgulipat label halal.
Laporan Majalah Tempo Edisi 24 Februari 2014 dengan sampul "Astaga Label Halal" menyebutkan bagaimana peran petinggi MUI dalam menetapkan organisasi mana yang bisa memperoleh lisensi. MUI pernah ditengarai memainkan pemberian lisensi untuk organisasi sertifikasi halal di Australia.
Penelusuran Tempo, sejumlah bukti menunjukkan ada setoran-setoran yang dikirim terkait dengan pemberian lisensi untuk perusahaan di Australia. Lisensi ini digunakan oleh perusahaan lokal Australia untuk memberi label halal bagi produk yang dijual di Indonesia.
Ketua Halal Certification Authority yang berbasis di Sydney, Mohamed El-Mouelhy, menuturkan siapa saja yang ingin mendapatkan lisensi itu harus membayar sejumlah uang ke MUI. Tak hanya membayar "donasi", para pengusaha halal ini juga wajib membiayai perjalanan pejabat-pejabat MUI dan rombongan mereka ke Australia.
"Saya harus membayar semuanya mulai dari makan, pesawat, hotel, dan uang saku," katanya dikutip dari laporan Majalah Tempo.
Walaupun sudah membayari pelesiran para pejabat MUI, El-Mouelhy tetap tak mendapatkan lisensi halal. Ia juga mengaku tak pernah dikabari soal alasan MUI tak menerbitkan lisensi itu. Padahal sebelumnya ia adalah pemegang lisensi halal untuk produk yang diekspor ke Indonesia.
Tak hanya El-Mouelhy. Manajer Operasi Al-Iman Islamic Society Amer Ahmed juga mengaku tak pernah mendapatkan kembali lisensi halal yang pernah dipegang oleh perusahaannya. Padahal, bersama El-Mouelhy, ia sudah urunan Aus$ 4.000 untuk membiayai petinggi MUI dan rombongan saat berkunjung ke Australia.
Tudingan itu mengarah pada Ketua MUI yang menjabat saat itu. Apalagi salah satu pengusaha menunjukkan bukti-bukti transfer ke sejumlah rekening Ketua Majelis Ulama Indonesia. Besarnya bervariasi, ada Aus$ 3.000 ke rekening Amidhan di Commonwealth pada 27 Maret 2013. Jumlah terbesar Aus$ 10 ribu atau sekitar Rp 105 juta. Uang itu diberikan agar MUI tak mencabut izin Australian Halal Food Services.
Amidhan membidangi urusan ekonomi dan sertifikasi halal di MUI kala itu. Bersama Sekretaris Jenderal Ichwan Syam, tanda tangannya tercantum pada surat izin untuk lembaga-lembaga pemberi label halal. Keduanya juga yang meneken surat pencabutan izin jika perusahaan dianggap melanggar peraturan MUI.
Amidhan menyangkal menerima setoran. Menurut Amidhan, meski ia yang meneken surat izin atau sanksi, keputusannya diketok bersama tiga orang lainnya.
Laporan Tempo juga menemukan MUI pernah menerima fee dari bisnis sertifikasi label halal oleh Islamic Food and Nutrition of America di Chicago, Amerika Serikat. Besarnya komisi itu mencapai 40 persen dari tiap label yang dikeluarkan IFANCA untuk perusahaan makanan dan minuman di benua tersebut.