TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhan mendesak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendampingi Nurhayati, pelapor kasus korupsi dana desa.
Nurhayati adalah mantan Kepala Urusan Keuangan Desa Citemu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, yang mengungkap kasus kerugian negara sebesar Rp 800 juta dari 2018-2020. Namun ia malah jadi tersangka dalam kasus tersebut.
“Kami mendesak LPSK harus proaktif mendatangi dan menghubungi Nurhayati untuk dilakukan pendampingan hukum lebih lanjut,” ujar Kurnia kepada Tempo pada Senin, 21 Februari 2022. Kurnia menegaskan penetapan tersangka terhadap Nurhayati akan mendegradasi atau bahkan memberangus peran serta masyarakat dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
Dari pantauan ICW, ada 1.298 terdakwa yang disidangkan dalam kasus korupsi dana desa sepanjang 2021. Dari jumlah itu sebanyak 330 orang di antaranya adalah perangkat desa. Kurnia menilai jika pelapor korupsi dana desa ditetapkan sebagai tersangka maka angka praktik korupsi di sektor dana desa akan semakin tinggi. “Karena masyarakat tidak berani untuk melaporkan atau berkontribusi dalam isu pemberantasan korupsi,” tutur dia.
Selain itu, dalam tren penindakan ICW mencatat pada semester pertama 2021, korupsi yang dilakukan oleh kepala desa menempati tiga besar. Sementara sektor dana desa korupsinya nomor empat tertinggi pada semester pertama 2021. “Itu urgensinya ada perlindungan bagi pelapor korupsi,” tutur Kurnia.
Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution menjelaskan bahwa LPSK akan mengambil langkah proaktif menemui Nurhayati untuk mengajukan permohonan perlindungan kepada negara. “Khususnya kepada LPSK, jika yang bersangkutan membutuhkan perlindungan,” katanya lewat keterangan tertulis, Minggu kemarin.
Menurut dia, penetapan tersangka terhadap pelapor akan menjadi preseden buruk. “Ini tentu menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dana desa yang dilakukan oknum kuwu di Kabupaten Cirebon,” kata Maneger.
Maneger menjelaskan jika benar Nurhayati telah menjalankan tugasnya sebagai bendahara desa di mana dalam mencairkan uang (dana desa) di Bank BJB sudah mendapatkan rekomendasi Camat dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD), maka seharusnya yang bersangkutan tidak boleh dipidana.
“Pasal 51 KUHP menyebutkan orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak boleh dipidana,” tutur Maneger.
Dia mengatakan sebagai pelapor sejatinya Nurhayati harus diapresiasi. “Kasus ini membuat para pihak yang mengetahui tindak pidana korupsi tidak akan berani melapor karena takut akan ditersangkakan seperti Nurhayati,” tutur dia.
Maneger menilai status tersangka yang disematkan kepada pelapor kasus korupsi mencederai akal sehat, keadilan hukum, dan keadilan publik. LPSK mengingatkan bahwa posisi hukum Nurhayati sebagai pelapor dijamin oleh UU Perlindungan Saksi dan Korban untuk tidak mendapatkan serangan balik, sepanjang laporan itu diberikan dengan itikad baik.
Pelapor disebutnya tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Jika ada tuntutan hukum terhadap pelapor atas laporannya tersebut, tuntutan hukum itu wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan telah diputus oleh pengadilan dan berkekuatan hukum tetap.
“Sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU Nomor 13 Tahun Tahun 2006 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,” ujar Maneger ihwal kasus korupsi dana desa.
Baca: Pelapor Korupsi Dana Desa di Cirebon Jadi Tersangka, Ini Kata MAKI