TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual mengusulkan agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggunakan metode khusus dalam membahas Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Hal itu disampaikan oleh advokat LBH, Lusi Palulungan, yang merupakan salah satu dari anggota jaringan itu.
“Kami mengusulkan pembahasan RUU TPKS per klaster dengan simulasi, untuk memastikan implementasinya nanti,” ujar dia dalam konferensi pers virtual pada Kamis, 17 Februari 2022.
Menurutnya, dengan menggunakan metode per klaster itu tujuannya agar dapat mencapai tujuan pembentukan undang-undang untuk mengubah pola penanganan kekerasan seksual. Karena RUU TPKS terkait erat dengan hukum acara dan pendekatan baru, sehingga penting untuk memastikan RUU ini implementatif.
Jaringan, kata Lusi, mengusulkan 9 kluster pembahasan, diantaranya: pengaturan tindak pidana kekerasan seksual, pemberatan dan rehabilitasi pelaku, hukum acara, restitusi, hak- hak korban, saksi dan keluarga, pendampingan, layanan terpadu, pencegahan, koordinasi dan pemantauan, serta peran masyarakat dan keluarga.
“Dalam pembahasa per kluster perlu diidentifikasi pihak-pihak atau SDM yang akan terlibat dan anggaran yang harus disiapkan. RUU TPKS harus dipastikan bisa implementatif, tidak hanya law in the text,” katanya.
“Kami sudah mengindentifikasi subtansi yang penting di dalam RUU TPKS itu kepada pemerintah dan DPR. Harapannya aturan ini bisa aplikatif untuk pemulihan korban kekerasan khususnya perempuan, anak, dan disablitas,” tutur Lusi.
Sebelumnya, pemerintah telah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) kepada DPR pekan lalu.