TEMPO.CO, Jakarta - Kharisma Wardhatul Khusniah dari Divisi Penelitian di LBH Yogyakarta, membeberkan sejarah proyek Bendungan Bener yang ditolak warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Menurutnya, proyek tersebut merupakan bagian dari proyek pariwisata yang belakangan menjadi sektor yang diunggulkan pemerintah.
Kharisma dalam diskusi daring Launching Riset Penilaian Dampak Sosial: Wadas Tolak Perampasan Ruang Hidup, menjelaskan proyek itu berawal dari Master Plan Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi (MP3EI), kemudian muncul di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, serta Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2018 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional (PSN).
“Tiga regulasi itu mencantumkan salah satunya adalah 10 Bali baru di Indonesia atau kawasan strategis pariwisata nasional Borobudur. Ini merupakan salah satu dari Bali baru yang digagas sejak pemerintahan SBY,” ujar dia Sabtu, 12 Februari 2022.
Untuk supporting kawasan strategis pariwisata nasional Borobudur ini membutuhkan infrastruktur transportasi untuk menunjang pariwisata. Lalu, dibangunlah Bandara Yogyakarta International Airport (YIA) di Kulon Progo. Bandara YIA itu juga memerlukan operasional dan dukungan dari sektor lain, salah satunya kebutuhan air, sehingga dibangunlah Bendungan Bener.
“YIA Kulon Progo yang beberapa waktu lalu juga sempat ramai dan memunculkan pelanggaran-pelanggaran HAM, dan sekarang sudah berdiri,” katanya.
Lebih lanjut, kata Kharisma, Bendungan Bener itu dalam proses pembangunannya membutuhkan penambangan quarry batuan andesit, yang memang berada di Desa Wadas. “Yang digunakan sebagai bahan material untuk pembangunan Bendungan Bener,” tutur Kharisma.
Dia menyebutkan bahwa proses tersebut sudah cukup panjang dan direncanakan dari dulu. “Bukan hanya yang ada di Desa Wadas saja, tapi ada keterkaitan dengan proyek besar yang lainnya, seperti YIA.”
Kemudian Gubernur Jawa Tengah pada 2018 mengeluarkan surat keputusan tentang persetujuan lokasi pengadaan tanah bagi pembangunan bendungan. “Yang sayangnya SK ini diterbitkan tanpa melibatkan partisipasi dan suara masyarakat, terutama bagi mereka yang terdampak langsung oleh pembangunan,” katanya lagi.
Dia mencatat bahwa Desa Wadas memang sejak awal sudah menyuarakan penolakan terhadap proyek Bendungan Bener. “Karena beberapa alasan, seperti kerusakan alam, sosial dan lainnya,” ujar dia
Menurut Kharisma, penolakan pembanguan Bendungan Bener juga terjadi di Desa Gundung, Kecamatan Bener, yang merupakan lokasi tapak bendungan. Namun, dia melanjutkan warga menolak hasil appraisal yang rendah.
Karena yang awalnya mereka menerima kesepakatan dengan harapan akan mendapatkan ganti untung tapi malah mendapatkan appraisal yang rendah sekitar Rp 50-60 ribu per meter persegi. “Warga Desa Gundung juga menerima dampak lingkungan seperti, rumah retak, serta longsor yang menutupi perkebunan dan menutupi akses sungai,” kata dia.
Desa lainnya adalah Desa Burat, di Kecamatan Kepil, Kabupaten Wonosobo. Kharisma mengatakan bahwa pada intinya warga Desa Burat ini mendukung proyek Bendungan Bener, tapi mereka menolak ganti rugi yang murah. “Mereka juga menentang segala bentuk intimidasi dan perjanjian sepihak,” tutur Kharisma.