TEMPO.CO, Jakarta - Election Corner Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM) menggelar forum diskusi bertajuk “Jaring Aspirasi: Mengulik Perspektif Lintas Isu Sambut Pilkada Serentak 2024” pada Sabtu, 28 September 2024
Acara ini diikuti oleh perwakilan Badan Pengawas Pemilu Daerah Istimewa Yogyakarta (Bawaslu DIY), Komisi Pemilihan Umum atau KPU DIY, dan jejaring komunitas masyarakat. Salah satu agenda yang dibahas adalah mengenai penjaringan isu dari berbagai komunitas masyarakat yang hadir.
Sebagai pembuka, Koordinator Election Corner, Abdul Gaffar Karim memaparkan temuan fokus isu di DIY yang dihimpun oleh Election Corner bekerja sama dengan Centre for Digital Society (CfDS) FISIPOL UGM. Menurut temuannya, Beberapa isu utama yang ada di DIY hampir serupa di tiap kabupaten. “Isunya tidak jauh-jauh dari kriminalitas, lingkungan hidup, dan infrastruktur,” terang Gaffar.
Kasus klitih di DIY memang menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir bersamaan dengan isu pengelolaan sampah yang bermasalah di daerah Sleman, Kota Yogyakarta, dan Bantul.
Sementara itu, perwakilan dari Badan Eksekutif Mahasiswa UGM, Rafi Baihaqi, melontarkan isu penggusuran yang terjadi di DIY. Teranyar, lanjut Rafi, adalah isu penggusuran masyarakat Bong Suwung oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI). Bong Suwung adalah daerah dengan 76 kartu keluarga yang tinggal dekat dengan rel di lintasan Stasiun Tugu Yogyakarta “Terdapat upaya penggusuran oleh PT KAI yang ingin menggusur dengan bahasa penertiban,” ujarnya.
Menurut Rafi, yang mendorong PT KAI berani melakukan hal tersebut adalah karena mereka mendapatkan surat palilah dari Kasultanan Ngayogyakarta. Surat palilah adalah surat kuasa yang hanya bisa dikeluarkan oleh Sultan karena memang tanah di Bong Suwung adalah tanah Sultan Ground.
“Ketika diberikan surat palilah tersebut, PT KAI diberikan semacam otonomi untuk mengelola daerah tersebut untuk sterilisasi atau penertiban. Masalahnya, ketika isu bersinggungan dengan tanah dengan lahan seringkali masyarakat tidak dilibatkan sebagai subjek, masyarakat hanyalah objek,” ujar Rafi.
Perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Puteri Titian Damai, juga memaparkan isu-isu lain yang ada di Yogyakarta. Isu tersebut diambil dari posko aduan yang diinisiasi oleh masyarakat sipil. Posko aduan tersebut berangkat dari kesadaran bahwa ada kelompok rentan yang perlu diperhatikan, waktu itu konteksnya adalah masyarakat minoritas agama dan gender.
“Tetapi kemudian berkembang ada yang masuk menyoal tentang ancaman terhadap kebebasan berpendapat di muka umum,” katanya.
Setelah membuka posko aduan tersebut, LBH Yogyakarta menginisiasi diskusi dengan berbagai lintas komunitas di Yogyakarta dan berhasil menghimpun beberapa isu penting yang akan didorong sebelum Pilkada 2024. Dari isu yang ditangkap dibagi menjadi dua yaitu soal hak sipil dan politik.
“Di hak sipil ada isu soal disabilitas terkait akses saat pemilihan, implementasi masih bolong-bolong. Kedua, soal implementasi kebijakan ada akses kepada pendidikan dan hak atas pendidikan tinggi karena faktanya meski Yogyakarta dikenal sebagai kota pendidikan, tetapi hanya 9 persen anak muda di Yogyakarta yang bisa mengakses pendidikan tinggi,” ujar Puteri.
Kemudian, soal hak ekonomi, sosial, dan budaya ada isu utama ada soal sampah. kerusakan lingkungan akibat pariwisata, dan air. “Kemudian ada kesenjangan yang semakin dalam dan diperparah dengan penggusuran yang dilakukan,” katanya.
Anggota Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY, Faiz, memaparkan isu ruang publik yang ada di Yogyakarta. “Salah satu penemuan rekan kami klitih di Yogyakarta terjadi karena minimnya ruang publik dan ruang berekspresi,” kata dia.
Faiz juga menyoroti tingkat pernikahan dini yang cukup tinggi di Yogyakarta yang setiap tahun masih di angka satu juta. Faiz kemudian menekankan pentingnya edukasi seks bagi anak muda di Yogyakarta. “Dari 80 persen tersebut disebabkan karena kehamilan yang tidak direncanakan yang terjadi karena pemerkosaan atau kegagalan KB,” ujar Faiz.
Temuan PKBI DIY selanjutnya adalah masalah yang dihadapi oleh masyarakat desa. Menurut Faiz, akses terhadap fasilitas kesehatan masih cukup sulit. “Beberapa lansia mengeluhkan faskes yang jauh untuk diakses, apalagi untuk teman-teman disabilitas yang ada di desa,” katanya.
Pilihan Editor: Election Corner Fisipol UGM Diskusi dan Paparkan Temuan Indeks Kerawanan Pemilu Menjelang Pilkada 2024