TEMPO.CO, Jakarta - Tahun Baru Imlek sempat dilarang dirayakan di tempat umum di Indonesia yaitu mulai dari 1968 hingga 1999. Larangan ini diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 yang dibuat oleh presiden Soeharto di era Orde Baru. Hingga hari, masih belum jelas alasan dibalik larangan ini.
Akibatnya, Inpres 14 Tahun 1967 menyebabkan diskriminasi terhadap orang Tionghoa yang tidak memiliki tempat selain di ruang ekonomi dan terkadang olahraga di Indonesia bagi mereka yang berprestasi. “Itu satu paket, nggak bisa dilihat dari Imleknya atau Konghucunya saja, tapi juga bagaimana diskriminasi itu sudah terjadi begitu lama,” kata Alissa Wahid kepada Tempo, Senin, 4 Februari 2019.
Diskriminasi ini bahkan juga terjadi dalam bidang hukum. Hal ini terungkap ketika Gus Dur pada tahun 90-an menjadi saksi ahli untuk pernikahan pengantin Tionghoa di Surabaya bernama Budi Wijaya dan Lanny Guito yang tidak dapat mencatatkan pernikahannya di Kantor Catatan Sipil karena agama Konghucu belum diakui di Indonesia.
Pasangan ini kemudian mengajukan gugatan secara resmi ke Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya. Gugatan ini dilakukan agar kelak anak dari mereka tidak dianggap sebagai anak di luar pernikahan dan tidak mendapatkan pengakuan dari negara. Dari sini Gus Dur mulai terkenal di kalangan orang Tionghoa.
Orang Tionghoa perlu menunggu selama 32 tahun hingga larangan ini dicabut oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ketika menjabat sebagai Presiden RI Keempat. Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 dan menerbitkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000. Keppres ini menjadi awal bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia mendapatkan kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, serta adat istiadat mereka, termasuk upacara keagamaan seperti Imlek secara terbuka.
“Gus Dur itu melakukan restorative justice, mengembalikan hak-hak kewarganegaraan bagi setiap warga negara yang wajib dilindungi tanpa terkecuali,” kata Alissa Wahid.
Setelah terbitnya Keppres Nomor 6 Tahun 200, secara bertahap tradisi-tradisi masyarakat Tionghoa mulai disosialisasikan. Gus Dur bahkan ikut langsung merayakan Imlek pada tahun 2000. “Gus Dur ikut merayakan Imlek yang pertama, pada 2000,” kata Alissa.
Pada 9 April 2001, Gus Dur menindaklanjuti keputusannya dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif yang berlaku hanya bagi mereka yang merayakannya. Hal ini diatur dalam Keputusan Nomor 13 Tahun 2001 tentang Penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif. Pada tahun 2003, Hari Raya Imlek yang jatuh pada tanggal 1 Februari setiap tahunnya ditetapkan sebagai hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Berkat perannya dalam mempromosikan pluralisme di Indonesia, khususnya menyangkut orang Tionghoa, Gus Dur mendapatkan julukan sebagai “Bapak Tionghoa”. Julukan ini diberikan oleh masyarakat Semarang bertepatan dengan hari Cap Go Meh di Klenteng Tay Kek Sie pada 10 Maret 2004.
NAUFAL RIDHWAN ALY
Baca: Alasan Presiden Gus Dur Tetapkan Imlek sebagai Hari Libur Nasional
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.