TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo, menanggapi kasus upaya-upaya kritik masyarakat yang berujung dipolisikan atau kriminalisasi. Menurutnya, hal itu sama saja berhadapan dengan suatu hal yang secara umum dikenal sebagai kekuasaan yang cenderung korup.
“Nah ketika kekuasaan itu tidak dibatasi dan diawasi, tidak ada yang mengontrol, maka akan sangat absolut korupsinya,” ujar dia dalam diskusi publik bertajuk ‘Masa Depan Demokrasi di Indonesia: Menyoal Pembungkaman Suara Kritis Masyarakat’ yang digelar secara virtual, Ahad, 30 Januari 2022.
Beberapa contoh kasus kritik masyarakat yang berujung pada pemolisian adalah peneliti ICW, Egi Primayogha dan Miftah yang dipolisikan oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Mereka dilaporkan atas dugaan kasus pencemaran nama baik pada September 2021 lalu. Saat itu, Moeldoko menyebut informasi yang disampaikan keduanya menyesatkan.
Kasus lainnya, ada Direktur Lokataru, Haris Azhar dan Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti yang dilapokan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Mereka juga dilaporkan atas dugaan kasus pencemaran nama baik. Sebelum pelaporan, Luhut dan Moeldoko sempat memberikan somasi.
Dan yang terbaru laporan aktivis 98 Ubedilah Badrun yang melaporkan dugaan kasus korupsi dan pencucian uang yang melibatkan dua anak Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep. Ubedilah dilaporkan balik oleh Jokowi Mania.
“Sebenarnya dari kerangka berfikir sudah sangat keliru, ketika pemolisian itu menjadi jalan untuk memberikan respon terhadap kritik dari warga,” kata Adnan sambil menambahkan bahwa seharusnya kritik tersebut menjadi landasan dan prinsip demokrasi jika menganutnya.
Menurut Adnan, fenomena pembungkaman berkembang dan memberikan kontribusi atas kesimpulan yang diambil para peneliti yang menyebutkan bahwa Indonesia memasuki regresi demokrasi.
“Itu salah satunya indikator yang bisa kita lihat ketika kekuasaan menggunakan instrumen hukum untuk membungkam suara kritik warga,” tutur dia.
Dan regresi demokrasi Indonesia juga dikonfirmasi oleh laporan Corruption Perception Index (CPI) 2021, dimana nilainya naik satu poin dari 37 menjadi 38. CPI merupakan gambaran kondisi korupsi di Indonesia.
Adnan melanjutkan bahwa kemungkinan banyak yang tidak memahami kenaikan tersebut. Dia menyebutnya kenaikan yang semu dari sisi pemberantasan korupsi, karena indikator-indikator kenaikan itu lebih banyak dikontribusikan oleh upaya-upaya regulasi sektor ekonomi, bukan upaya membangun satu struktur pemerintahan yang sehat yang tercermin dari banyak indikator.
Misalnya, Adnan mencontohkan, indeks rule of law-nya apakah bagus atau tidak. “Di CPI kemarin itu stagnan, karena kita melihat secara umum upaya pemolisian untuk membungkam suara kritik masyarakat termasuk oposisi itu terjadi dan dilakukan,” ujar Adnan sambil menambahkan meskipun ada upaya mengerem dengan rancangan revisi UU ITE.
Baca: Amar Hukuman dalam UU ITE bagi Penyebar Hoaks: Bui Maksimal 6 Tahun dan atau..