TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebut tak ada hal baru yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia tentang perubahan iklim COP26, di Glasgow, Skotlandia, Senin, 1 Oktober 2021. Bahkan, Walhi melihat Jokowi melewatkan sejumlah hal besar dalam pidatonya tersebut.
"Menyampaikan capaian yang sudah dilakukan dan mendorong tanggung jawab negara maju dari konteks pendanaan. Dan tentu saja ini adalah posisi yang sama di negara-negara berkembang. Terakhir adalah jualan utang," kata Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi, Yuyun Harmono, Selasa, 2 November 2021.
Yuyun mencontohkan dalam pembahasan mengenai pendekatan pengakuan hak atas korban perubahan iklim sama sekali tak dibahas Jokowi dalam pidatonya, termasuk hak atas korban. Di Indonesia, menurut dia, korban perubahan iklim ini sudah ada.
Cara mengakui hak korban ini hingga kepada siapa kerugian ini ditagih, tak pernah dijelaskan. "Kalau Jokowi tak punya stand (posisi) kuat dalam hal ini, saya kira dia tak melihat realitas dalam negeri bahwa krisis iklim sudah terjadi," ujar Yuyun.
Saat ini Dewan HAM PBB pun sudah mengakui bahwa hak atas lingkungan hidup yang aman dari bencana akibat krisis iklim, bersih, sehat, dan berkelanjutan itu adalah hak asasi manusia. "Kita sudah cantumkan itu dalam konstitusi dan legislasi kita. Tapi tak pernah itu jadi dasar dalam pelaksanaan kebijakan dan rencana pembangunan kita yang rendah karbon itu," kata Yuyun.
Selain itu, transisi menuju energi baru terbarukan dari energi fosil juga tak dijelaskan Jokowi. Ia enggan memberi sikap tegas kapan Indonesia akan meninggalkan energi kotor terutama batubara. Apalagi, dalam dokumen-dokumen RUPTL PLN yang diklaim sebagai RUPTL hijau, sampai 2030 masih akan dibangun sekitar 13,8 gigawatt sumber energi yang berasal dari batubara.
Selain itu, tak dijelaskan secara detail juga bagaimana tahapan transisinya. Meski Jokowi sempat menyinggung tentang ekosistem mobil listrik namun peralihan menuju energi baru terbarukan (EBT), jika sembarangan, juga kerap menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah.
"Sulawesi, Papua, itu akan jadi ladang-ladang penghancuran lingkungan baru melalui tambang nikel jika tak hati-hati dan menerapkan konsep transisi yang betul," tutur Yuyun.
Bagi Walhi, transisi yang adil dari fosil menuju EBT harus dimulai dari awal, yakni transisi dari materialnya. Sebab jika tak dimulai dari awal bakal menyebabkan kerusakan lingkungan yang baru. Yuyun menilai butuh proses yang bertahap agar Indonesia tak terjerumus ke dalam kerusakan lingkungan yang lebih parah atas nama mitigasi perubahan iklim.
Baca juga: Jokowi Pamerkan Kontribusi Indonesia dalam Penanganan Perubahan di COP26