TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai Mahkamah Agung salah kaprah memahami istilah restorative justice (keadilan restoratif) yang menjadi salah satu alasan mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 atau yang biasa disebut aturan pengetatan remisi koruptor.
Menurut dia, restorative justice seharusnya berpihak pada korban bukan pelaku. “Katanya PP itu tidak sejalan dengan restorative justice, ini salah kaprah,” kata Bivitri dalam diskusi daring ICW, Selasa, 2 Oktober 2021.
Bivitri menjelaskan keadilan restoratif bukan sekedar memberikan solusi sama-sama menang. Pendekatan restoratif, kata dia, juga bukan bertujuan agar orang yang dipenjara berkurang.
Ia menilai konsep itu lahir dalam hukum hak asasi manusia ketika mekanisme peradilan tidak bisa memberikan keadilan yang maksimal bagi korban. “Makanya dikembangkan konsep restorative justice untuk menciptakan keadilan, terutama untuk korban,” kata dia.
Keadilan untuk korban, kata dia, menjadi pertimbangan utama dalam penggunaan konsep tersebut. Oleh karena itu, Bivitri menilai, putusan Mahkamah Agung yang menyebutkan aturan pemberlakuan pengetatan pemberian remisi koruptor tidak sejalan dengan konsep restorative justice adalah keliru. “Dalam korupsi yang menjadi korban adalah masyarakat, bukan koruptor,” kata Dosen Hukum di Sekolah Tinggi Hukum Jentera ini.
Sebelumnya, MA mengabulkan uji materi terhadap PP Nomor 99 Tahun 2012 yang diajukan oleh mantan kepala desa Subowo dkk yang sedang menjalani pidana di Lapas Sukamiskin. Dalam pertimbangannya, majelis menyatakan narapidana merupakan manusia yang bisa melakukan kekhilafan. Majelis berpendapat mereka dapat dikenai pidana namun tidak harus diberantas.
Majelis menilai yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum. "Bahwa berdasarkan filosofi pemasyarakatan tersebut, rumusan norma yang terdapat di dalam peraturan pelaksanaan UU No 12 Tahun 1995 sebagai aturan teknis pelaksana harus mempunyai semangat yang sebangun dengan filosofi pemasyarakatan yang memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice," seperti dikutip dari petikan putusan Mahkamah Agung tentang aturan pengetatan remisi koruptor.
Baca juga: KPK: Remisi Bagi Koruptor Harus Mempertimbangkan Rasa Keadilan Rakyat