TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty International Indonesia menyoroti pasal karet Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang digunakan unuk menjerat Stella Monica dan M. Asrul.
Stella merupakan konsumen di salah satu klinik kecantikan. Setelah mengeluhkan iritasi kulit, ia dilaporkan oleh klinik kecantikan tempatnya perawatan. Belakangan, jaksa menuntut Stella satu tahun penjara pada pertengahan Oktober lalu.
Dengan dalih pencemaran nama baik, jaksa di Palopo, Sulawesi Tengah, menjerat M. Asrul seorang wartawan yang menulis soal dugaan korupsi di sana.
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena mengatakan keduanya mestinya tak perlu dipidana sejak awal. "Stella dan Arsul adalah cerminan betapa negara telah gagal melindungi hak asasi mereka," kata Wirya dalam keterangan tertulis, Kamis, 21 Oktober 2021.
Wirya mengatakan Stella hanya mengungkapkan pendapatnya secara damai tentang layanan kecantikan yang dia gunakan. Sedangkan, Asrul membuat karya jurnalistik yang mestinya ditangani dengan Undang-Undang Pers jika ada keberatan.
Jika kasus hukum ini berakhir pidana bagi keduanya, kata Wirya, akan ada potensi besar munculnya efek gentar di tengah masyarakat. "Padahal apa yang dilakukan mereka telah dijamin dalam Konstitusi dan hukum internasional."
Di sisi lain, Wirya melanjutkan, kasus Stella dan Asrul hanya dua dari puluhan kasus serupa. Dari Januari hingga Oktober 2021, Amnesty mencatat setidaknya 60 orang ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi karena dituduh melanggar UU ITE saat melaksanakan hak mereka atas kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Wirya mengatakan pemerintah seharusnya belajar dari pengalaman kasus Saiful Mahdi dan Baiq Nuril. Dua orang yang divonis karena UU ITE itu mesti menunggu amnesti dari Presiden Joko Widodo untuk bebas dari hukum.
"Berapa banyak lagi orang yang harus mendapatkan amnesti sebelum pemerintah dan DPR mengambil langkah cepat dan konkrit untuk menghentikan penyalahgunaan pasal-pasal karet ini," katanya.
Wirya mendesak pemerintah dan DPR segera merevisi pasal-pasal karet yang bermasalah dalam UU ITE. Sebelumnya, Amnesty dan kelompok masyarakat sipil telah menyampaikan delapan pasal problematis yang perlu direvisi.
Selama menunggu revisi, Amnesty juga mendesak pemerintah untuk mengambil langkah demi menegakkan hak kebebasan berekspresi. Yakni dengan memberikan pembebasan tanpa syarat kepada orang-orang yang telah divonis bersalah dan berkekuatan hukum tetap.
"SKP2 untuk yang kasusnya tengah ada di kejaksaan dan baru mau dibawa ke pengadilan, dan SP3 untuk mereka yang baru berstatus tersangka di kepolisian," kata Wirya.
Pemerintah telah mengajukan revisi UU ITE menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Namun hingga saat ini pemerintah belum mengirimkan Surat Presiden untuk memulai pembahasan revisi aturan tersebut.
Baca juga: Saiful Mahdi Berharap UU ITE Direvisi