TEMPO.CO, Jakarta - Tragedi Gerakan 30 September 1965 atau G30S sudah 56 tahun berlalu. Dalam tragedi itu, tujuh orang yang kemudian disebut sebagai Pahlawan Revolusi gugur menjadi korban. Kemudian pada 4 Oktober 1965, dilakukanlah proses pengangkatan jenazah tujuh Pahlawan Revolusi.
Pada 1980, Presiden Soeharto kemudian menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Kartika Eka Paksi Nararya kepada Letkol Marinir TNI AL Winanto beserta sembilan rekannya. Salah satunya adalah dr. Kho Tjioe Liang.
Kho Tjioe Liang adalah seorang dokter keturunan Tionghoa berpangkat Letnan Satu (Lettu) Kesehatan di Korps Komando Operasi (KKO) yang kin berubah nama menjadi Korps Marinir.
Kala itu, Kho Tjioe Liang bertugas mengevakuasi jenazah tujuh Pahlawan Revolusi di sumur Lubang Buaya. Ia merupakan anggota Kesatuan Intai Para Amphibi (Kipam) Marinir yang kini menjadi Batalyon Intai Amfibi (Taifib).
Melansir dari Tempo.co, ia merupakan satu dari 12 orang yang melakukan pengangkatan jenazah. Mereka di antaranya adalah Winanto, Sugimin, Sutarto, Saparimin, J. Kandouw, A. Sudardjo, Hartono, Samuri, I. Subekti, Baharudin Sumarno (dokter gigi), dan Kho Tjioe Liong (dokter tentara).
Melansir dari buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran Sejak Nusantara Sampai Indonesia (2014) karya Iwan Santosa, proses pengangkatan jenazah Pahlawan Revolusi itu dimulai dengan manuver yang dilakukan oleh Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) atau kini disebut Kopassus di bawah kepemimpinan Mayor (Inf) CI Santoso di kawasan Lubang Buaya pada Oktober 1965.
Pada awalnya, terdapat kendala teknis dalam proses pengangkatan jenazah. Jenazah tersebut berada di dalam sumur tua berdiameter 0,75 dengan kedalaman sekitar 15 meter.
Proses pengangkatan jenazah pun berlangsung cukup dramatis. Sebab, sebelumnya banyak prajurit yang pingsan akibat menghirup gas beracun yang berasal dari dalam sumur. Kemudian dilakukan proses orientasi untuk mengetahui metode yang tepat untuk mengangkat seluruh jenazah.
Awalnya, terdapat tiga opsi yang muncul. Pertama, mengangkat langsung, tetapi sangat sulit karena lubang terlalu sempit. Kedua, menggali atau memperlebar sumur, tetapi bakal memakan waktu dan tenaga. Ketiga, menggunakan tali untuk mengikat lalu menarik jenazah.
Kemudian atas keputusan Kho Tjioe Liang dan Kapten Sumarno, dipustuskanlah untuk menggunakan opsi ketiga. Proses evakuasi jenazah dimulai sekitar pukul 11.00 dan berakhir sekitar pukul 15.00.
Setelah itu, Tim Kipam pun meninggalkan Lubang Buaya menuju Markas Kostrad untuk melapor kepada Kepala Staf Kostrad Brigjen TNI Kemal Idris. Kemudian Tim Kipam melapor ke Panglima Marinir di Mabes Marinir, dilanjutkan melapor kepada Panglima Angkatan Laut.
Keesokan harinya, bertepatan dengan HUT ke-20 Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada 5 Oktober 1965, ketujuh jenazah Pahlawan Revolusi dimakamkan di Taman Makam Pahlawan atau TMP Kalibata.
M. RIZQI AKBAR
Baca: G30S: 4 Jam Pengangkatan Jenazah 7 Pahlawan Revolusi dari Sumur Lubang Buaya