TEMPO.CO, Jakarta - Jatuhnya kabinet yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin akibat mosi tidak percaya dengan keputusan Perjanjian Renville mengakibatkan kekuasaan politik orang-orang kiri di masa itu menjadi lemah. Untuk menggantikan kabinet Amir Sjarifuddin dibentuklah kabinet dengan Mohammad Hatta sebagai perdana menteri.
Namun, penunjukan Bung Hatta sebagai perdana menteri membuat Amir beserta kelompok sayap kiri tidak menyukainya, salah satunya adalah dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Hatta, yaitu kebijakan Rekonstruksi dan Rekonsiliasi (RERA). Kebijakan ini bagi mereka dianggap merugikan karena mengurangi kekuatan militer Indonesia.
Selain itu, untuk menandingi kekuatan Kabinet Hatta, Amir beserta sayap kiri yang lain mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni1948. FDR adalah kelompok oposisi yang terdiri dari berbagai golongan kiri, seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Buruh Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia, Sarekat Buruh Perkebunan Indonesia.
Ketika konflik antara Kabinet Hatta dan golongan kiri semakin panas, datanglah Musso, seorang pemimpin PKI di awal 1920-an. Musso baru saja kembali dari Moskow ke Indonesia melalui Yogyakarta. Setelah menuntut ilmu mengenai komunisme, Musso yang baru saja kembali menawarkan konsep politik yang disebutnya sebagai Jalan Baru. Dalam konsepnya tersebut, Musso menginginkan partai kelas buruh melebur menjadi satu dan akhirnya semua partai kelas buruh dan partai bermazhab kiri menjadi satu di bawah komando PKI.
Untuk menunjukkan kekuatan dari golongan kiri, Musso menggelar rapat raksasa yang diadakan di Yogyakarta. Dalam rapat tersebut, Musso menekankan pentingnya kabinet presidensial diganti menjadi kabinet front persatuan. Selain itu, Musso yang juga dekat dengan Uni Soviet menyerukan supaya terjalin kerja sama internasional.
Memasuki September 1948, Musso dan sejumlah pimpinan serta anggota PKI berkunjung ke daerah-daerah di Jawa, seperti Cepu, Wonosobo, Kediri, Jombang, Solo, dan Madiun untuk menyebarkan pemikiran serta gagasan dari kaum kiri. Dan di tengah kunjungannya tersebut meletus pertempuran yang disebut Peristiwa Madiun.
Peristiwa Madiun bermula ketika Soemarsono mengumumkan kekuasaan di Madiun diambil alih oleh FDR. Dengan dikuasainya Madiun oleh FDR, membuat FDR bergerak leluasa untuk melucuti kesatuan-kesatuan Corps Polisi Militer (CPM) dan Pasukan Siliwangi di Madiun.
Pelucutan juga sweeping yang dilakukan oleh FDR yang menimbulkan kepanikan dari warga sipil. Akhirnya penjarahan, penangkapan, dan aksi tembak-menembak terjadi di Madiun. Pada akhirnya, Madiun berhasil dikuasai oleh FDR dan Madiun menjadi Pemerintahan Front Nasional. Kemudian, FDR mendeklarasikan hal serupa di Pati. Korban rakyat akibat aksi FDR pun berjatuhan.
Melihat situasi yang semakin chaos, pemerintah RI mengerahkan pasukan TNI untuk menertibkan keadaan dan memulihkan situasi. Pasukan siliwangi berhasil melucuti FDR di Yogyakarta dan menumpas FDR di Madiun. Ketika Pasukan siliwangi bergerak menuju Madiun, para pemimpin FDR sebagai cikal PKI sudah melarikan diri terlebih dahulu. Musso tewas dalam pelariannya itu.
Pelarian gerombolan PKI Madiun ini pula yang kemudian membunuh RM Suryo, Gubernur Jawa Timur pertama di Ngawi, yang tengah dalam perjalanan dari Solo ke Surabaya.
Selepas, Musso tewas, Amir Sjarifuddin memimpin pelarian yang diikuti oleh 3.000 orang golongan kiri. Namun, pelarian ini juga berhasil digagalkan setelah keberadaan Amir berhasil terlacak dan ia diamankan. Setelah diamankan, Amir dibawa ke Kudus dan kemudian dipindah ke Yogyakarta. Akhirnya Amir dipenjara di Benteng Yogyakarta dan kemudian dipindahkan ke Surakarta.
Desember 1948, menjadi bulan terkahir bagi Amir karena ia harus meregang nyawanya di tangan para eksekutor. Eksekusi yang dilakukan kepada Amir dilakukan bersama dengan eksekusi tokoh PKI lainnya, seperi Maruto Darusman, Suripno, dan Sarjono.
Dengan dieksekusinya Amir Sjarifuddin, membuat PKI kehilangan kekuatannya dan memulai kembali untuk mengonsolidasikan kekuatannya. Selepas 1948, PKI kembali menemukan kekuatannya ketika memasuki 1955 dan saat Indonesia memasuki periode demokrasi terpimpin.
EIBEN HEIZIER