TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Agung menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan pengacara Frederich Yunadi dalam perkara menghalang-halangi pemeriksaan mantan Ketua DPR Setya Novanto dalam kasus korupsi KTP-elektronik atau E-KTP.
"Amar putusan: Tolak," demikian tertulis dalam laman Mahkamah Agung, Kamis, 2 September 2021. Putusan itu diambil oleh majelis hakim yang terdiri dari Eddy Army, Ansori dan Suhadi serta diputuskan 1 September 2021.
Baca juga:
Permohonan PK dengan nomor register 294 PK/Pid.Sus/2021 itu diajukan oleh Rudy Marjono selaku kuasa pemohon untuk Frederich Yunadi pada 18 Juni 2021.
Sebelumnya berdasarkan putusan kasasi pada 23 Maret 2019, Mahkamah Agung memperberat hukuman Fredrich Yunadi menjadi 7 tahun 6 bulan penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 8 bulan kurungan. Sementara dalam putusan banding yang diambil majelis banding di Pengadilan Tinggi Jakarta pada 9 Oktober 2018, Fredrich Yunadi tetap divonis 7 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 5 bulan.
Putusan banding itu menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama majelis pengadilan Tipikor Jakarta pada 28 Juni 2018 yang memvonis Fredrich selama 7 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 5 bulan kurungan. Namun, vonis itu lebih rendah dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang menuntut agar Fredrich divonis 12 tahun penjara ditambah denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan.
Sebagai pengacara Setya Novanto, Fredrich terbukti memberikan saran agar Setya Novanto tidak perlu datang memenuhi panggilan penyidik KPK dalam perkara E-KTP. Alasannya ialah untuk proses pemanggilan terhadap anggota DPR harus ada izin dari presiden serta agar Setya Novanto melakukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: Cerita 17 Transgender Akhirnya Dibuatkan E-KTP Kota Tangerang