TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga adanya potensi konflik kepentingan mahalnya harga pemeriksaan polymerase chain reaction atau Tes PCR di Indonesia. Dalam hal ini, ICW menyoroti posisi Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Abdul Kadir, sebagai Komisaris Utama PT Kimia Farma Tbk (Persero).
Abdul Kadir meneken Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/3713/2020 yang menetapkan tarif tertinggi untuk pemeriksaan PCR sebesar Rp 900.000 pada 5 Oktober 2020. Beberapa hari lalu, pemerintah menurunkan tarif PCR menjadi 495 ribu. Abdul Kadir ditunjuk sebagai Komisaris Utama PT Kimia Farma Tbk (Persero) pada 28 April 2021.
"Pertanyaan sederhana kami, bagaimana mungkin seseorang yang membuat regulasi tentang tarif pemeriksaan PCR, menduduki posisi Komisaris Utama di BUMN Kimia Farma yang juga bertindak sebagai pihak penyedia jasa layanan PCR?," ujar Peneliti ICW Wana Alamsyah dalam diskusi daring, Jumat, 20 Agustus 2021.
Wana menduga, jangan-jangan selama ini pemerintah tidak mengevaluasi mahalnya PCR karena salah satu orang yang menetapkan tarif pemeriksaan tersebut, merupakan orang yang juga menyediakan jasa pelayanan.
"Sehingga ada kemungkinan keengganan melakukan evaluasi tersebut. Sebab jika kita melihat potensi penerimaan terhadap pemeriksaan PCR ini sangat besar," ujar Wana.
ICW mencatat, potensi keuntungan penyedia jasa PCR dihitung mulai Oktober 2020-Agustus 2021 mencapai Rp10,46 triliun. "Ini angka yang sangat besar," tuturnya.
Wana menyebut, pernyataannya tentu masih merupakan asumsi. "Kita tentu perlu men-challengge argumentasi Kemenkes dalam hal ini," tuturnya.
Soal potensi konflik kepentingan Abdul Kadir, ICW menduga setidaknya ada dua hal yang bertentangan dengan undang-undang. Pertama, berdasarkan Pasal 17 UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik dijelaskan bahwa pelaksana dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.
Pasal 1 ayat (5) menjelaskan, pelaksana adalah pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.
"Artinya Dirjen Yankes itu adalah pelaksana untuk pelayanan publik. Dan ketika Pak Abdul Kadir sebagai Dirjen Yankes merangkap sebagai komisaris, tentu bertentangan dengan undang-undang pelayanan publik," ujar Wana.
Selanjutnya, ujar dia, dalam Pasal 33 UU 19/2003 tentang BUMN juga dijelaskan bahwa anggota komisaris dilarang memangku jabatan rangkap sebagai: anggota Direksi pada BUMN, badan usaha milik daerah, badan usaha Milik swasta, dan jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; dan/atau ayat 2 (2) jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
ICW memandang, normalisasi konflik kepentingan di era Presiden Joko Widodo ini menimbulkan dampak serius bagi tata kelola pemerintahan dan kepentingan publik secara luas. "Dan sayangnya konflik kepentingan ini tidak dianggap sebagai sesuatu hal urgen untuk ditangani secara serius," ujar Wana soal mahalnya tes PCR.
Sementara itu, Dirjen Yankes Abdul Kadir menampik adanya konflik kepentingan dalam penetapan tarif PCR. "Saya ini diangkat jadi komisaris baru satu bulan. Jadi kalau dibilang sengaja misalnya memperlambat penurunan, bukan karena itu, saya kan baru satu bulan. Jadi tidak ada konflik kepentingan disitu," ujar Kadir saat dihubungi Tempo, Jumat, 20 Agustus 2021.
Menurut Abdul Kadir, penurunan tarif tes PCR baru bisa dilakukan karena harga reagen di pasaran juga turun. "Harga-harga reagen di pasaran itu sudah jauh lebih turun dibandingkan tahap awal pandemi Covid-19. Berdasarkan itulah maka dilakukan evaluasi batas atas tarif PCR," ujarnya.
Baca juga: Rumah Sakit dan Klinik Mulai Turunkan Harga Tes PCR