TEMPO.CO, Jakarta - Sudah satu pekan lebih Rafli Zen merasa lemas dan sakit di seluruh badan. Kepala Suku Kaitora di Pulau Enggano, Bengkulu ini mengatakan gejala serupa juga dirasakan banyak warga dari enam desa di pulau seluas sekitar 400 meter persegi itu. Banyak masyarakat, kata Rafli, mengalami demam, flu, hingga hilang indera penciuman dan perasa mirip gejala Covid-19.
“Penyakit yang sekarang menyerang Enggano ini flu, sesak napas, kepala sakit, badan lemas. Sedang rata betul ini, enam desa adat terkapar semua,” kata Rafli kepada Tempo pada Rabu, 11 Agustus 2021.
Rafli tak menampik gejala-gejala itu seperti terpapar Covid-19. Namun ia sendiri tak tahu pasti lantaran tidak menjalani tes antigen maupun PCR. Menurut Rafli, tes corona biasanya hanya dilakukan mereka yang hendak keluar atau masuk ke Pulau Enggano.
Pria berusia 67 tahun ini mengaku cuma mengonsumsi paracetamol dan meminum ramuan rebusan, seperti daun cengkeh, jahe, lengkuas, dan tetumbuhan lainnya. Ia mengatakan, obat-obatan memang sulit didapat di pulau yang terletak di sebelah barat daya Bengkulu ini. “Tidak ada bantuan pemerintah di Enggano ini,” ujarnya.
Persoalan testing, tracing, dan treatment di atas hanya selapis masalah yang dialami masyarakat adat di tengah pagebluk Covid-19. Program vaksinasi pemerintah pun berjalan lambat.
Di luar Jawa, persoalan akses menjadi kendala yang signifikan. Masyarakat adat yang tinggal di pulau-pulau jauh dari kota berhadapan dengan terbatasnya stok vaksin. Sebagian orang juga enggan atau takut disuntik lantaran keburu terpapar disinformasi. Pemerintah dinilai tak cukup menggencarkan sosialisasi untuk menangkal informasi yang tidak benar.
***
Alih-alih menyebut Covid-19, sebagian masyarakat adat di Toraja, Sulawesi Selatan, memakai istilah sangulele jika mengalami flu dan batuk belakangan ini. Sangulele dapat dimaknai sebagai ‘keseluruhan’ atau ‘semua orang’. Menurut Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Rukka Sombolinggi, istilah itu digunakan karena gejala serupa dialami oleh banyak orang.
Di beberapa wilayah adat di Pulau Kalimantan, kata Rukka, sebagian masyarakat menganggap gejala batuk-batuk merupakan penyakit yang lazim terjadi berbarengan dengan musim panen buah-buahan—meski diiringi dengan demam dan anosmia. “Orang tidak mau menyebutnya Covid-19 karena juga tidak ada tesnya,” kata Rukka kepada Tempo, Ahad, 8 Agustus 2021.
Selanjutnya: Aparat pemerintah tak bisa menjangkau lokasi pedalaman..