TEMPO.CO, Jakarta - Kriminolog Universitas Indonesia, Sapto Priyanto, mengatakan ada dua hal yang membuat seorang mantan napi terorisme bisa menjadi residivis. “Pertama adanya penolakan masyarakat,” kata Sapto dalam diskusi Kajian Terorisme SKSG UI, Sabtu, 12 Juni 2021.
Sapto mengungkapkan penolakan di masyarakat menjadi salah satu kendala bagi eks napi terorisme yang ingin hidup kembali normal. Ia mencontohkan sebuah kasus di Malang di mana seorang eks napiter diusir dari kontrakannya dan meminta tinggal di kantor polisi.
“Jadi penolakan masyarakat ini menjadi kendala dalam proses reintegrasi mantan napi terorisme,” ujarnya.
Hal kedua adalah adanya ketergantungan dari kelompoknya, terutama bagi napiter (narapidana) yang tidak mau mengikuti program deradikalisasi.
Menurut Sapto, dalam proses reintegrasi sosial terhadap napi terorisme dibutuhkan peran semua pihak, mulai dari pemerintah, badan pemasyarakatan, lembaga nonpemerintah, tokoh agama, hingga tokoh masyarakat.
Salah satu yayasan yang mendukung proses tersebut adalah Yayasan Debintal. Sapto menuturkan yayasan ini menjadi wadah bagi mantan napi terorisme di kawasan Jabodetabek. Yayasan ini mendampingi para eks napiter mulai dari penjemputan saat bebas hingga kini berperan sebagai rumah singgah.
Eks napi terorisme yang kini menjadi pengurus Yayasan Debintal, Gamal Abdillah Maulidi, mengatakan ada tiga kegiatan yang dilakukan, yaitu bidang ekonomi, literasi, dan birokrasi. “Di antaranya pendampingan membantu ikhwan mengurus pembebasan bersyarat,” ujar Gamal.
Baca juga: 34 Napi Terorisme yang Ikrar Setia ke NKRI dari Simpatisan JAD, ISIS Hingga JI
FRISKI RIANA