TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies Ubedilah Badrun mengatakan pemerintah tidak boleh tersandera oleh agenda politik pribadi, seperti kasus Partai Demokrat. Isu ini mencuat sejak awal Februari lalu saat Ketua Umum DPP Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono mengungkap adanya upaya pengambilalihan partai.
Ia melanjutkan pernyataan pemerintah yang akan menggunakan UU Partai Politik dan AD/ART Partai Demokrat hasil Kongres V 2020 untuk menilai hasil KLB ilegal. "Jadi, isyarat kuat pemerintah tidak tertarik untuk melakukan manuver politik yang berisiko tinggi," katanya, Jumat 12 Maret 2021.
Namun, menurut dia, untuk mengesahkan hasil kongres luar biasa atau KLB Demokrat malah sangat berisiko, apalagi pada saat kondisi bangsa seperti sekarang ini. "Terlalu berisiko jika pada saat krisis seperti ini Pemerintah mengesahkan KLB Partai Demokrat, apa pun alasannya. Potensi gejolak politiknya terlalu besar," kata dia.
Apalagi, kata dia, melihat bagaimana AHY dengan cepat dan kompak melakukan konsolidasi DPD, DPC, dan para anggota Fraksi PD DPRD se-Indonesia, sementara para mantan kader pelaku KLB tampak jelas tidak punya massa yang riil.
Baca: Lagi, Eks Kader Cerita Bagi-bagi Duit di KLB Demokrat Deli Serdang
"Pemerintah berpotensi menimbulkan turbulensi politik yang tidak perlu namun magnitudonya besar sehingga mengganggu fokus penyelesaian pandemi serta mengatasi krisis ekonomi," ucap Ubedilah.
Ia mengingatkan masyarakat lelah dan gelisah soal kesulitan ekonomi yang mereka hadapi. Jika persoalan ini terus berlarut akibat fokus pemerintah pecah, ada potensi akan lebih sulit mengendalikan kegelisahan masyarakat.
Pendiri Lingkar Madani Ray Rangkuti mengingatkan bahwa pencaplokan Partai Demokrat bukanlah termasuk agenda pemerintah. "Ini jelas agenda pribadi Kepala KSP Moeldoko meskipun saya bertanya-tanya kenapa dibiarkan," kata Ray.
Ray menilai tidak menguntungkan bagi pemerintah untuk mengesahkan KLB Partai Demokrat yang berisiko menimbulkan gejolak politik. Ray menduga Moeldoko salah kalkulasi karena terbuai oleh janji-janji manis makelar-makelar politik yang membujuknya.