TEMPO.CO, Jakarta - Badan Intelijen Negara (BIN) mendukung rencana merevisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Iklim di ruang cyber memang memerlukan etika berkomunikasi, agar kebebasan individu tidak melanggar kebebasan orang lain. Dan revisi UU ITE juga perlu kembali dipertimbangkan seiring pesatnya pengguna internet," ujar Deputi VII BIN, Wawan Hari Purwanto dalam diskusi daring yang digelar PWI, Rabu, 10 Maret 2021.
Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (ALJII) periode 2019 hingga 2020 pengguna internet mencapai 197,7 juta orang. "Faktanya, pemanfaatan ruang digital belum digunakan secara bijak dan optimal oleh sebagian warganet," ujar dia.
Survei digital 2020 oleh Microsoft menempatkan Indonesia pada urutan ke-29 dari 32 negara yang tidak sopan dalam menggunakan media sosial. "Sementara untuk Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara paling tidak sopan menggunakan media sosial," kata Wawan.
Segelintir orang, kata Wawan, memanfaatkan kebebasan berpendapat tanpa mempertimbangkan dampak dari apa yang telah dilakukannya. "Tanpa disadari, kebebasan berekspresi dan kritik yang awalnya dilindungi, berubah menjadi pencemaran nama baik, fitnah, doxing, menyebarluaskan data pribadi seseorang ke ranah publik, hingga ujaran kebencian," ujar dia.
Jika dibiarkan berkembang, kata Wawan, ujaran kebencian dapat memecah belah persatuan, bahkan untuk tataran yang lebih jauh perbuatan itu bisa menimbulkan atau memicu genosida.
"Beberapa dari kasus tersebut di antaranya pencemaran nama baik, ancaman terhadap presiden, kerusuhan di Kendari pada 17 September 2020, semua dilakukan melalui media sosial," ujar dia.
Wawan memahami, wacana revisi UU ITE memang menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. "Faktanya pasal yang dianggap karet, setidaknya 10 kali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, para hakim MK selalu menolak gugatan uji materi atau judicial review dari gugatan tersebut," uja dia.
Sehingga, menurut Wawan, kehadiran Undang-undang ITE harus dimaknai dengan cara lebih positif. Sebab, bila negara abai terhadap apa yang terjadi, maka hukum jalanan di dunia digital bisa saja terjadi. "Oleh sebab itu, informasi-informasi yang banyak merugikan kepentingan umum harus disumbat dan yang memiliki manfaat dibuka lebar-lebar," ujar dia.
Walaupun masih menuai perdebatan, Wawan menilai keberadaan Undang-undang ITE masih relevan, khususnya dalam membendung potensi propaganda digital. Aktivitas pasukan cyber disebut terus meningkat di seluruh dunia sejak 2020. "Wacana revisi UU ITE perlu disikapi hati-hati, antara menyelaraskan hak berekspresi dan menciptakan ruang digital yang sehat," tuturnya.
Baca juga: Revisi UU ITE Tak Ada di Prolegnas, Simak Lagi Pasal Bermasalah Aturan Ini